SEPTEMBER KELABU 1970

BAB 1

Pertemuan Terakhir

 

 

Hari itu, Rabu malam Kamis tanggal 9 September 1970, aku (The Kok Tjhiang alias Tony J.Kristianto alias Kay Pang) dan Go Hong Sing alias Harry Susanto (HS) – si tukang sulap - sedang berada di rumah kost Jl.Makaliwe I no.17.  Kami sudah bersama-sama berburu tempat untuk kuliah sejak dari Semarang ke Yogya terus Ke Jakarta. HS akhirnya masuk FK Trisakti dan aku sendiri masuk FTElektro Trisakti.

Sejak awal tahun kita berdua mengontrak kamar depan yang sebenarnya adalah ruang tamu dari rumah keluarga Soeroyo – pegawai Direktorat Jenderal Perhubungan Udara yang berkantor di Airport Kemayoran. Ruang tamu itu disulap jadi kamar kost untuk menutup kebutuhan ke empat anaknya yang sudah mulai remaja. Jadi pintu dan jendela kamar kita itu langsung menghadap ke halaman depan dan sekitar 8 meter dari pinggir jalan.

Sekitar jam 19:00, kami berdua barusan selesai menyantap makan malam dari panci rantang langganan kami. Seperti biasanya, habis makan bah Hong Sing sudah langsung menggelosor kembali di ranjang kayunya yang menempel di tembok sebelah dalam. Sambil disinari lampu neon empat puluh watt ia sudah sibuk kembali memegang di satu tangannya diktat hapalannya yang dilipat dua dan tangan lainnya dilipat di atas kepalanya sambil menteng kelek. Rasanya selama beberapa bulan diktat-diktat itu tidak pernah habis-habis dihafal isinya.  Ini adalah risiko yang harus dijalani kalau kuliah di Fakultas Kedokteran. Kaus singlet dan celana pendek adalah baju seragamnya HS kalau di rumah. Padahal, kalau keluar rumah dia selalu rapih – gekleid. Aku selalu ingat akan prinsipnya untuk selalu keluar dalam keadaan rapih agar bisa menghargai diri sendiri. No sandal!!! Apalagi sandal jepit seperti anak-anak sekarang!!! Tabu untuk dia.

Aku sendiri sedang duduk di atas sadel motor Honda  S90 warna merah maroon milik HS yang diparkir dalam kamar, nempel ke tembok antara pintu depan dan pintu ke belakang, ketika secercah sorotan lampu menembus masuk ke dalam kamar disertai bunyi motor DKW biru masuk ke halaman depan kamar kami.  Si mBoen – demikian aku biasa memanggilnya – muncul dengan setelan khas, celana dan jaket blue jeans serta T-shirt putih. Jaman itu tidak ada keharusan pakai helm.

Dia menyerobot masuk kamar sambil mengumbar senyumannya yang khas, lalu duduk di atas ranjangku yang menempel ke jendela depan. Kalau di Semarang dulu, dia suka meneriakkan singkatan namaku berkali-kali dari luar rumah untuk memanggil aku keluar: te..ee, te ka te...ee!!!


Setelah duduk, mulailah dia bercerita tentang rencananya mau naik ke puncak Pangrango lalu turun dari Sukabumi dengan mengikuti peta militer yang barusan didapatnya.  Menurut peta itu ada jalan dari puncak Pangrango ke Cisaat - Sukabumi. Aku dibujuk-bujuknya untuk ikut bersama dia dan Willy Buntaran.  MBoen waktu itu sudah kuliah di tingkat satu FK Yarsi di Cempaka Putih sedangkan Willy adalah mahasiswa tingkat tiga FKUI. 

Aku terpaksa menolak ajakannya walaupun dia membujuk terus karena aku sedang mempersiapkan ujian kimia pada hari Kamis dua minggu lagi.  Akhirnya dia pulang dengan sedikit kecewa. Itulah kali terakhir aku bertemu dia dalam keadaan hidup.

BAB 2

PUNCAK PANGRANGO

 

 

Kira-kira sebulan sebelum pertemuan 9 September itu, aku ikut bersama mBoen naik ke puncak Pangrango. Setelah berkali-kali dibujuknya, akhirnya aku mau juga pergi bersamanya.  Tentunya sambil melanggar pesan Mami-ku agar tidak ikut-ikutan naik ke gunung. Peristiwa Soe Hok Gie membuat Mami-ku tidak rela melepaskan anaknya mengikuti olahraga atau hobby seperti itu. Waktu itu mBoen sudah berkali-kali naik gunung. Aku mengajak teman sekuliahku, Arianto Widjaja - anak dari Solo. Kami bertiga berangkat naik bis arah ke Bandung dari Terminal Lapangan Banteng pada suatu hari Jum’at siang dan sore harinya berhenti di Cimacan - pertigaan Cibodas. Dari sini kita berjalan naik ke arah Taman Kebun Raya Cibodas. Kita sempat ngopi melepas lelah di rumah penduduk sampai menjelang mahgrib. Ketika memasuki Taman Kebun Raya Cibodas hari sudah malam dan kita mulai melakukan pendakian dengan menggendong ransel di punggung dan lampu senter dan lampu kapal di tangan.  mBoen berjalan di depan untuk membuka jalan dan setiap kali harus berhenti untuk menunggui kami berdua yang tertinggal. Pendakian ini sungguh melelahkan dan mematahkan semangat bagi seorang pemula seperti aku dan Aryanto. Ingin rasanya kami duduk berhenti, menyudahi pendakian ini dan minta pulang saja. Tapi mBoen terus membesarkan semangat kami dengan mengatakan bahwa sebentar lagi sudah sampai, kita sudah dekat, sehabis tikungan ini kita bisa istirahat. Menjelang air terjun, kami sempat berhenti sebentar dan berusaha untuk menyalakan api, namun angin dingin yang bertiup kencang dan hawa dingin yang merasuk sampai ke tulang membuat jari-jari kami kaku sampai tidak mampu menyalakan korek api. Akhirnya, setelah empat jam berjalan mendaki, kami berhasil mencapai tempat persinggahan Kandang Badak menjelang tengah malam. Di dalam cottage yang terbuat dari balok-balok kayu yang ada disitu sudah banyak pendaki lain yang beristirahat, tidur berjejer di depan api pendiangan untuk mengusir hawa dingin, kami berkenalan dengan Willy Buntaran yang masih berjaga.


Willy Buntaran yang kukenal untuk pertama kali dan terakhir kalinya ini adalah mahasiswa tingkat tiga FK-UI yang berprestasi tinggi. Orangnya pendiam dan sangat pintar. Namun dia tidak suka menunjukkan kepandaiannya sehingga setiap kali ujian dia sengaja membuat kesalahan atau tidak mengerjakan seluruh soalnya agar nilainya tidak terlalu mencolok tinggi. Zaman itu, orang Cina di UI termasuk barang langka dan menjadi sosok yang disentimeni sehingga memang seharusnya dia pandai-pandai membawa diri agar tidak terlalu menonjol.  Dia juga anggota Mapala UI – Mahasiswa Pecinta Alam UI – yang sudah biasa mendaki gunung sendirian.

Pagi harinya aku masih sempat bikin Supermie di luar bersama Willy. Kita akhirnya memutuskan untuk mendaki bersama-sama ke puncak Pangrango. Rombongan kita sekarang menjadi empat orang.  Sekitar jam 1000 pagi kita tiba di alun-alun puncak Pangrango. Disana kita berfoto-foto, bergantian karena kita tidak membawa tripod. Salah satu adalah foto kita bertiga berdiri sambil saling merangkul pundak di atas batu penanda puncak Pangrango, mBoen disisi kananku, aku di tengah dan Willy di sisi kiriku.  Foto lainnya adalah aku di sisi kanan, mBoen di tengah dan Aryanto disisi  kiri.  Itulah foto-foto terakhirku bersama mBoen. Salah satu foto itu ternyata muncul di koran Kompas beberapa minggu kemudian.

 

BAB 3

HILANG

 

Rabu malam, 16 September 1970, seminggu kemudian setelah mBoen meninggalkan tempat kost kami, kira-kira pada jam yang sama, sorotan lampu disertai bunyi deruman scooter Vespa yang khas, masuk ke halaman depan kamar kost kami dan diparkir di tempat yang sama dimana mBoen memarkir DKW-nya.

Waktu itu aku sedang serius belajar ilmu kimia yang akan diuji pada hari Kamis 24 September minggu depan, aku menengok keluar dan muncul wajah yang kukenal baik, koh Tony – sepupunya mBoen dari Bandung yang sedang co-ass di FKUI. Dia nampak agak terkejut ketika melihat wajahku nongol di jendela kamar.

“Lho, Tjhiangkie, kamu nddak ikut mBoen ke gunung?” tanyanya. Aku menjawab: “Nggak…tuh, emangnya kenapa, koh?” Kelihatan wajahnya sedikit mencelos mendengar jawabanku. Lalu dia berkata pendek: “MBoen belum pulang!”

Lalu aku bercerita kalau mBoen memang datang ke tempat kost-ku seminggu yang lalu dan mengajak aku untuk ikut naik gunung bersamanya dan Willy.  Mereka mau mencoba untuk turun dari Pangrango melalui Sukabumi berdasarkan petunjuk peta militer yang barusan didapatnya. Dia membujuk-bujuk agar aku mau ikutan, tapi aku menolak karena aku sedang sibuk mempersiapkan diri untuk ujian kimia.

Belakangan baru aku tahu bahwa setelah gagal mengajak aku, mBoen berhasil mengajak enam orang kawannya di Yarsi untuk ikut bersamanya. Namun, karena mereka berenam belum berpengalaman, maka ke enamnya disuruh turun sendiri melalui rute jalan yang ditempuh ketika  mendaki, yaitu melalui Kebun Raya Cibodas. Rute yang dianggap jalan raya untuk pada pendaki yang berpengalaman. Mereka berdua memisahkan diri untuk meneruskan petualangannya, mengikuti peta militer tua yang dipercayainya.

Setelah mendengar penjelasanku, maka koh Tony pulang dan mulai meminta bantuan kepada teman-temannya di Mapala UI untuk mencarinya. Berita hilangnya mBoen dan Willy segera tersiar melalui radio dua meteran ke segala penjuru.  Waktu itu mBoen sudah cukup dikenal di udara (callsign-nya aku lupa!), sehingga dalam waktu singkat mobilisasi tim pencari segera dilakukan.

BAB 4

SEARCH AND RESCUE

 

Hari Kamis, 17 September 1970, mBoen dan Willy dinyatakan hilang di gunung. Sorenya para pendaki yang tergabung dalam berbagai organisasi pecinta alam mulai berhamburan ke gunung untuk mencari mereka berdua.

Tokoh-tokoh pendaki, seperti Herman Lantang, Aristides Katoppo, dll.. ikut terjun memimpin mereka. Mereka sebagian menyisir dari puncak Pangrango menuju ke arah Gunung Putri dan Gunung Masigit yang terletak di antara Pangrango dan Sukabumi. Rombongan yang besar menyisir dari arah Cisaat – Sukabumi. Pos Komando (Posko) didirikan  di satu bungalow di Cisaat.

Ketenaran mBoen di udara membuat pak Hoegeng - Kapolri, yang ketika itu Ketua dari ORARI, mengerahkan satu kompi Mobrig (Mobil Brigade, sekarang Brimob) untuk ikut melakukan operasi SAR. Selain itu juga Detasemen Patroli Jalan Raya yang bermarkas di Jl.Gatot Subroto – Pangadegan dikerahkan untuk membantu transportasi dan komunikasi. 

Setelah koh Tony pulang, aku pun ikut menjadi gundah. Sesuatu telah terjadi di luar rencananya mBoen. Makanya aku berunding dengan Hong Sing (HS). Kalau nddak salah kemudian muncul ide untuk menanyakan kondisi mereka berdua melalui paranormal.  Nah, dari ide itu muncul nama pak Handoyo yang ada di Krukut yang diperkenalkan oleh saudaranya HS. Kami berdua pergi menghadap beliau hari Sabtu. Beliau mengatakan bahwa kelihatannya Willy sudah tidak ada, mBoen masih ada karena dia shio macan, tapi dia sekarang berada dalam cengkeraman penunggu Gunung Masigit karena berbuat kurang sopan, dia kencing sembarangan tanpa kulonuwun. Berita ini kami sampaikan ke Posko untuk menyemangati tim SAR.  Maminya mBoen – tante Wie Tiong – sudah datang dari Semarang dan kemudian naik ke Posko Cisaat agar dapat mengikuti perkembangan terakhir dari upaya SAR ini, sekalian membantu mengurus dapur umum bagi para anggota tim. Masyarakat di sekitar daerah itupun mulai dilibatkan dalam operasi ini.   

Rumah Engku Tjwan Poo di. Gg. Sadang dijadikan Posko keluarga. Hari Senin siang kami menerima berita bahwa ransel yang berisi perlengkapannya mBoen diketemukan di pinggir jurang yang cukup curam, termasuk arloji otomatisnya yang sudah mati. Aku tidak yakin apakah arloji itu ada tanggalannya. Namun dengan memperkirakan bahwa arloji otomatis itu akan mati sendiri dalam waktu sekitar 48 jam kalau tidak digerak-gerakkan, maka ada kemungkinan bahwa ransel tersebut sudah tergeletak disitu sejak hari Kamis minggu sebelumnya.


Maka pencarian pun mulai diarahkan ke sekitar wilayah tersebut. Jejak-jejak yang ditinggalkan mBoen mulai dilacak dan ternyata mengarah menuruni tebing dengan kecuraman lebih dari 60 derajat. Namun pencarian sampai hari Selasa masih tidak membawa hasil.

Hari Rabu kami berdua, HS dan aku, ditambah Freddy (aku agak lupa), pergi lagi ke rumah Oom Handoyo. Sesuai dengan ceritanya Freddy, oleh si Oom itu kami disuruh mencari dan minta bantuan dari ”orangtua” yang menjadi juru kunci - ’kuncen’  Gunung Masigit itu.  Setelah kembali ke Gg.Sadang, kami mendapat berita bahwa siang tadi sesosok mayat telah diketemukan oleh seorang pemburu. Satu regu tim penyelamat dari Wanadri telah ada disana, tapi mereka tidak dapat mengenali korban karena mereka tidak kenal dengan mBoen maupun Willy. 

Maka diusulkan agar dapat dikirim seseorang yang kenal dengan mereka berdua untuk mengindentifikasi mayat tersebut. Tentu saja pilihannya hanya aku. Karena itu, malam itu juga aku harus berangkat ke sana dan ikut dengan tim evakuasi yang akan menjemput mayat tadi. Kami minta bantuan PJR untuk mengantarkan kami menjalankan misi itu. Maka, sekitar jam 22:00, kami bertiga: Tjiek Swan, Freddy dan aku, bersama dua anggota PJR berangkat naik Volvo 144 warna putih yang menjadi mobil patroli polisi yang populer. Kami bertiga duduk di bangku belakang, sedangkan kedua anggota duduk di depan.  Baru kali ini kami bertiga duduk di dalam mobil PJR, untungnya bukan sebagai pesakitan.

Kami menyusuri jalan Kramat, Salemba, Matraman, Jatinegara, Cawang, Cililitan dan masuk ke jalan Raya Jakarta – Cibinong - Bogor. Waktu itu jalan tol Jagorawi belum ada, mungkin dipikir saja juga belum. Setelah melewati Nanggewer, menjelang stasiun pompa bensin Cibuluh, mobil PJR ini mogok. Ternyata bensinnya habis. Jadilah kita bertiga turun dan mendorong mobil itu menyusuri jalan yang agak menanjak sekitar 500 meter. Si supir dan Tjiek Swan tetap berada di dalam mobil. Jaman segitu, jalan itu sudah sepi sekali. Untungnya stasiun pompa bensin itu buka, sehingga kita bisa mengisi bensin dan melanjutkan perjalanan kembali.

Setelah melewati kota Bogor (tempat tinggalku sekarang) kami masuk wilayah Sukabumi. Di wilayah kebun karet desa Parungkuda Radio Mobil PJR itu tidak dapat menangkap sinyal. Jadi kita berjalan dalam keadaan radio silence. Akhirnya kami tiba di Cisaat sekitar tengah malam. Maminya mBoen masih melek dan kita disuguhi supermi panas.

BAB 5

EVAKUASI

 

Setelah sempat tidur sebentar, paginya aku bersama rombongan tim penyelamat berangkat untuk melakukan evakuasi. Kami mendaki Gunung Masigit sekitar dua jam tanpa berhenti, berjalan di punggung gunung dengan tebing yang sangat curam dengan kemiringan lebih dari enam puluh derajat di sebelah kanan kami. Sampai di suatu tebing yang tidak terlalu curam dan agak dekat dengan dasar lembah, kami mulai menuruninya dengan bergelayutan seperti Tarzan di pepohonan, akar-akar dan rotan yang memenuhi tebing tersebut.

Setelah proses penurunan yang berat ini, kami sampai di suatu sungai kecil yang berair bening dan dingin sekali, suhunya sekitar delapan derajat Celcius. Sungai ini cukup dangkal, kedalamannya tidak lebih dari satu meter dengan lebar yang bervariasi, antara satu sampai tiga meter.  Kami berjalan di dalam sungai ini menuju ke arah hulu. Tanganku terasa beku dan kulitnya berkeriput. Arlojiku sudah tidak dapat dibaca lagi karena kacanya berembun.

Setelah berjalan bersusah payah, sambil menyibak air sungai yang dingin itu, sekitar hampir satu jam kami tiba di suatu kolam dengan air terjun yang tingginya sekitar tiga puluh meter mencurahkan air kesitu.

Kami bertemu dengan regu penyelamat yang pertama kali mencapai lokasi tersebut kemarin dan menemukan jenazah berjaket kuning yang sudah dibaringkan. Aku pun mendekat dan melihat wajahnya yang sudah memutih dan luka di samping kiri kepalanya yang sedikit terbuka, ditambah belatung segar yang menggeliat-geliat di dalam dan sekitar lukanya.  Tak syak lagi ini adalah jenazah Willy, teman yang kukenal untuk pertama dan terakhir kalinya di puncak Pangrango beberapa minggu sebelumnya. Untuk memastikannya, aku lalu menyibakkan baju dan celananya. Mboen memiliki bekas operasi usus buntu yang cukup besar, panjangnya sekitar tujuh centimeter. Tapi, di perut jenazah itu  aku tidak menemukannya. Maka yakinlah aku kalau ini adalah jenazah Willy. Harapanku bangkit kembali, bahwa ada kemungkinan mBoen masih selamat.

Sementara jenazah sedang dibungkus plastik dan dipersiapkan untuk di angkat dengan tandu yang terdiri dari dua batang bambu dan tali-tali, aku memperhatikan ke sekelilingnya. Di tebing di sisi air terjun itu, kira-kira berjarak tiga meter dari sisi air terjun, aku melihat bekas tanah dan lumut yang terkelupas membentuk alur yang tegak lurus dari atas ke bawah. Aku berkesimpulan bahwa itu adalah bekas barutan dari tubuh Willy yang jatuh dari atas, menyusuri tebing itu dan akhirnya sampai ke tanah. Ada kemungkinan kepalanya sudah terbentur sebelum tubuhnya sampai ke tanah. Di bagian atas tebing itu tidak diketemukan tali atau apapun yang menunjukkan adanya usaha untuk turun dengan bantuan tali.  Tampaknya mereka sudah tidak mempunyai tali lagi karena belakangan diketemukan talinya tergantung di tebing air terjun yang lebih atas dari air terjun dimana Willy diketemukan.

Tampaknya  mereka berdua sudah merasa tersesat sehingga akhirnya mengambil keputusan untuk mengikuti alur sungai yang ada di peta itu, yang memang alurnya akan melewati Sukabumi. Namun mereka tidak memperkirakan bahwa di alur sungai itu ada jeram dan air terjun yang harus dilewati.  Mereka berhasil melalui air terjun yang pertama, lalu yang kedua dengan selamat.

Pada air terjun yang ke tiga, seperti biasanya Willy sebagai pendaki yang senior mengambil inisiatif untuk melakukan penurunan yang pertama dengan mengandalkan rumput dan semak yang menutupi tebing itu. Tali sudah tidak dimilikinya lagi karena sudah dipakai untuk menuruni air terjun sebelumnya. Sayangnya dia tidak berhasil turun melewati air terjun ke tiga dengan cara seperti seorang pemanjat tebing.  Apalagi jalur penurunannya mengambil posisi di samping air terjun yang cukup licin, berlumut dan tidak memiliki akar-akar rerumputan yang dalam dan kuat. Akhirnya, dia terjatuh dari ketinggian sekitar dua puluh meter.


Mboen tentu saja terkejut dan tidak membiarkan temannya sendirian tergeletak di bawah sana. Ada kemungkinan bahwa Willy masih hidup sesudah jatuh itu. Sepertinya, mBoen tidak mau mengambil risiko menuruni jalan yang sama dengan Willy. Ia lalu berjalan mengitari punggung gunung lalu berhenti di tempat di mana ransel dan jaketnya kemudian diketemukan.  Sepertinya dia tergesa-gesa dan tidak mau disulitkan dengan barang bawaannya, maka ditinggalkannya ransel dan jaket itu disana. Dari sini dia menuruni tebing, masuk ke sungai dan berjalan menghulu seperti kita mencapai tempat Willy berada.

Sepertinya mereka masih sempat berkomunikasi dan akhirnya Willy dipindahkan ke tepi kolam dan didudukkan bersandar pada batu yang ada di pinggir kolam tadi. Dalam posisi duduk, dengan kaki terendam di air sampai hampir sebatas lutut, seperti itulah Willy ditemukan. 

Tubuhnya, yang tidak terendam air yang dingin, terkena panas matahari sehingga cepat mengalami pembusukan.  Aku tidak tahu apakah jenazah itu kemudian diotopsi di rumah sakit untuk menentukan waktu dan penyebab kematiannya.  Namun, aku perkirakan Willy sudah meninggal pada suatu siang hari kurang lebih seminggu yang lalu. Jadi, apa yang dikatakan oleh pak Handoyo pada hari Sabtu sebelumnya bahwa Willy sudah tidak ada, mungkin sekali benar.

Setelah jenazah Willy selesai dibungkus dan diikat, maka perjalanan berat untuk kembali ke Posko dimulai.  Terutama ketika kami semua harus mendaki tebing, kembali seperti Tarzan, dengan membawa jenazah. Syukurlah, tebing itu bisa dilalui. Dari atas tebing sini kami baru bisa mengabarkan ke Posko tentang hasil indentifikasiku. Selama di lembah tadi, walkie talkie tidak dapat berfungsi.  Akhirnya kami semua tiba dengan selamat menjelang maghrib di Posko.  Tentu saja kami disambut dengan isak tangis dari teman-teman dan keluarga Willy yang sudah menunggu disana. Malam itu juga jenazah Willy di bawa dengan ambulance ke Jakarta.

Di saat teman-temanku sedang bergulat mengerjakan ujian ilmu kimia, aku sendiri sedang berjalan gontai dengan sedih dan gundah menuruni jalan setapak yang terjal dengan membawa jenazah Willy ke Posko.  Namun, kau masih menaruh harapan bahwa mBoen masih hidup karena kita tidak menemukan tanda-tanda kematiannya.

BAB 6

PERCAYAKAH?

 

 

Setelah pulang ke Jakarta, aku ikut sibuk dengan urusan pemakaman Willy serta memberikan berbagai keterangan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari keluarga dan kawan-kawannya. 

Jenazah Willy dibawa ke RSCM lalu disemayamkan di rumahnya di Jl. Cikini Raya, dekat pasar Cikini. Pada hari Minggu 27 September 1970, enam belas hari setelah keberangkatannya sendiri dalam keadaan hidup, Willy diberangkatkan untuk dimakamkan (kremasi?).  Aku sendiri tidak ingat lagi apakah aku ikut mengantarkan sampai ke tempat pemakaman atau krematorium.

Jenazahnya sempat dibawa mampir ke UI untuk mendapatkan penghormatan terakhir dari Civitas Academica UI. Waktu itu perisitiwa ini dianggap cukup menghebohkan dan dramatis setelah peristiwa meninggalnya Soe Hok Gie di Gunung Semeru – Jawa Timur. Kalau semuanya terjadi sekarang, mungkin perhatian yang diberikan tidak akan sebesar itu karena kecelakaan di gunung hampir terjadi setiap tahun. .

Sementara itu pencarian terhadap mBoen masih terus dilakukan.  Aku naik lagi ke Posko di Cisaat, namun aku tidak ikut bersama tim pencari lainnya. Aku hanya berjaga di Posko sambil berusaha menguatkan keluarga mBoen yang ada di sana.

Waktu itu sudah diputuskan bahwa batas akhir operasi pencarian ini adalah hari Rabu, 30 September 1970.  Waktu operasi pencarian yang sudah mencapai dua minggu dianggap sudah mencukupi. Apabila tidak juga diketemukan, maka mBoen akan dinyatakan hilang. Apabila masih ada yang mau mencarinya, dipersilahkan, tapi tentu saja upaya sendiri.

Nah, pada tanggal 30 September 1970 pagi hari, satu tim pencari yang sudah berkemah selama beberapa hari di kolam air terjun yang ke lima sudah berkemas untuk melakukan pencarian hari terakhir. Karena sudah demikian santernya kabar tentang adanya kekuatan mistik di wilayah itu, maka si pemimpin tim mengajak seluruh anggotanya untuk berdoa dengan cara masing-masing terlebih dahulu sebelum mereka berangkat dari situ.

Mereka kemudian berdiri berjejer menghadap ke arah kolam dan si pemimpin berdiri membelakangi kolam.  Di kala mereka berdoa itu, sesuatu muncul dari dalam kolam. Hal mana dilihat oleh salah seorang anggota tim, sehingga mereka semua menghentikan doanya. Namun, ketika semua menengok ke arah kolam, disana tidak ditemukan apa-apa. Maka mereka melanjutkan doanya, ketika itulah sesosok tubuh kembali mengambang di permukaan kolam.

Pemimpin tim memutuskan agar sebagian anggotanya tetap berdoa dan salah seorang diutus untuk berenang ke arah sosok tersebut dengan membawa tali. Setelah sosok tersebut berhasil diraihnya, maka dia ditarik ke tepi beramai-ramai. Disitulah mereka menemukan jenazah yang masih dalam keadaan utuh dengan sedikit luka di dahinya.  Jenazah itu dipastikan adalah mBoen karena mereka sekarang sudah dibekali ciri-cirinya, a.l. bekas luka operasi usus buntu di perut kanannya.

Sungguh mengharukan dan menakjubkan bahwa di hari terakhir pencarian jenazah mBoen bisa diketemukan, padahal selama beberapa hari mereka sudah berkemah di tepi kolam itu dan mandi, minum dan masak dengan menggunakan air dari kolam itu juga.

Kemungkinan besar mBoen merasa panik dan bingung setelah menemukan Willy meninggal dunia.  Maka setelah mendudukkan Willy bersandar di batu dengan kaki-kakinya terendam di dalam kolam air terjun yang ke-tiga, ia melanjutkan perjalanan menyusuri sungai kecil itu. Rupanya ia masih berhasil melewati air terjun yang ke empat. Tapi naasnya tiba di air terjun yang ke lima, dimana akhirnya dia jatuh, terbentur kepalanya, dan mati sebelum tenggelam ke air yang dingin itu. Ada kemungkinan bahwa mayatnya kemudian tersangkut di batu di  dasar kolam dan di awetkan oleh air yang dingin itu. Makanya mayatnya masih utuh dan tidak ditemukan banyak air di dalam paru-parunya.

Belakangan diketahui bahwa sungai yang mengalir ke arah Sukabumi tersebut memiliki tujuh air terjun. Willy hanya berhasil melewati tiga dan mBoen berhasil melewati lima. Masih ada dua air terjun lagi yang harus ditaklukkan sebelum mereka bisa mencapai kota Sukabumi.

Ironisnya, jalan setapak yang ditunjukkan oleh peta itu memang ada.  Namun, karena peta tua dan jalan setapak itu tidak pernah lagi dilewati orang, maka sampai pada suatu titik jalan tersebut ternyata sudah ditutupi dengan semak belukar. Padahal semak belukar itu tebalnya hanya sekitar tiga meter saja. Kalau saja Willy dan mBoen memutuskan untuk menerabas semak belukar itu, mereka akan menemukan kembali sambungan jalan setapak yang ada di peta tersebut.  Tapi, sepertinya mereka mengambil jalur lain, yaitu mengikuti aliran sungai. Dan, begitulah takdir mengarahkan mereka berdua untuk perlaya di gunung itu.

 

BAB 7

SELESAILAH SUDAH

 

 

Berita penemuan jenazah mBoen itu dikomunasikan ke Posko dan pagi hari itu juga tim evakuasi segera berangkat menjemput. Aku tidak ikut bersama mereka lagi karena tidak lagi perlu melakukan indentifikasi. Sore harinya jenazah mBoen tiba di Posko dan langsung dibawa dengan ambulance ke RSTM.

Mungkin Tjie Swan betul, bahwa aku ikut bersama dia sampai ke sana. Bagian ini aku sudah lupa walaupun sudah berusaha mengingat-ngingatnya. Kalau tidak salah, jenazah mBoen juga dsemayamkan sebentar di kampus Yarsi di Cempaka Putih.  Hal mana pada saat itu tentu cukup menghebohkan karena ada dua orang China mendapatkan penghormatan sampai seperti itu karena rasa sentimen anti China masih kuat sekali.  Aku masih ingat bagaimana kita berusaha menyamarkan penampilan kita agar tidak kelihatan terlalu China.

Dari sana mBoen dimakamkan di Tempat Pemakaman Jati Petamburan.  Yang aku masih ingat jelas adalah Noniek – adik kesayangannya mBoen - menyender di pundakku sambil menangis ketika peti jenazahnya dimasukkan ke liang kubur.  Selesailah sudah.....!

 


Appendix

Tambahan dari Dian

 

Pada waktu pencarian Boen Houw memang aku ikut tapi aku tidak bisa mengingat kembali orang2 yang ikut mecari dia karena pikiranku pada waktu itu sangat kalut sekali, harus memikirkan papi dan mami yang panic karena kehilangan anak lakinya yang tertua, juga oma ikut panik.

Yang masih aku ingat adalah ada orang yang mau nipu mami minta uang 15 Juta rupiah ( 36 thn yang lalu bisa dibayangkan) ditanggung Boen Houw akan kembali hidup, untuk mami masih sadar dan bertanya uang tersebut akan dibuang kemana ? Jawabnya dibuang kelaut ??? Sungguh tidak logis, Biasanya orang menggunakan kesempatan pada waktu keadaan kritis. Untung pada waktu itu aku kuat dalam fisik dan mental menghadapi semuanya.

36 tahun telah lalu, sekarang ini aku baru tahu bahwa yang diajak berangkat ke gunung temannya yg 2 lagi adalah kamu, aku dengar ceritanya sih katanya anak Yarsi.

Kalau kamu ga bikin cerita ini aku tetep ga tahu siapa yang diajak ke puncak Pangrango, apa kamu pernah cerita sama kita², aku lupa banget lho

Rasanya dulu ada yg simpan potongan koran(knipsel) baik Kompas maupun Sinar Harapan selama 2 minggu peristiwa itu dimuat terus tapi aku sampai sekarang ga ingat siapa? Terutama Sinar Harapan karena Ariestides Katoppo juga ikut cari, kl ga salah dia dari arah basecamp Sukabumi.

Yang kasihan adalah anak ORARI Sukabumi yang harus naik sepeda ke basecamp(yg mana aku ga tahu) untuk menjawab atau menyampaikan berita ?

Yang aku ingat lagi adalah pada waktu mayatnya BH sudah ditemukan dan kamu naik mobil PDR (Patroli Djalan Raya) jemput aku ke gunung, karena aku ga berani pulang ke Jakarta untuk memberitakan berita buruk dilain pihak juga berita gembira karena mayatnya bisa ditemukan karena sudah hampir dinyatakan HILANG kl 1 hari kemudian belum ketemu ke Pa dan Ma  dan keluarga yang lain.

Kamu ingat ga waktu mayatnya dibawa pulang ke Jakarta malam² dan ada mobil yang mendahului mobil jenazah, langsung slip didepan muter balik, wah sangat mengagetkan, sudah peristiwa sedih, hampir ada kecelakaan lagi, tapi Tuhan beserta kita, semuanya berjalan lancar sampai ke kamar mayat RS Cipto Mangunkusumo di Jl Salemba. Aku melihat mayat BH dimandiin sembari sebelah2nya masih ada 6-8 mayat lagi yg bergeletakan, sedikit serem tapi konsentrasiku adalah pada mayat BH dan harus mengidentifikasi, apa betul dia atau tidak(berat lho krn kl samapi salah berarti fatal) begitu keluar dari ruangan yg utk memandikan sudah ditanya sama mami apa betul itu mayatnya adikmu, aku jawab dgn sedih : ya mami, terus mami tanya lagi apa kamu ga keliru dan kamu pasti, aku jawab lagi : ya mami, krn ada bekasnya operasi usus buntu. Jam 02.00 tengah malam tutup peti masih ada pastor yang mau dipanggil untuk kita bersama sama berdoa

Tambahan informasi, petugas yang memandikan mayat sebelum bungkusnya dibuka dia tanya apa mayatnya masih utuh? Aku jawab: ya, memangnya kenapa pak, kmd bp bercerita bahwa mayat yg duluan ditemukan mukanya dan badannya hancur dimakan belatung dan belatungnya gede² lagi, aduh serem sekali deh.

Untung mayat PBH utuh, hanya menurut ceritanya kepala bagian depan pecah (jidat) ada celahnya kira² 1 jari, jadi menurut perkiraan dia jatuhnya jungkir kepalanya dulu.

Aku seperti blackout waktu ngurusin BH dari cari di gunung sampai penguburan aku ga ingat lagi siapa² yang datang.

BH dulu masuk FK di Univ. Islam Jakarta, temennya cewek² juga banyak,malah dia pernah cerita kalau teman kuliahnya pernah celana dalamnya merosot segala.

Waktu di fakultas dia sempat jadi pelatih basket ball, pokoknya favorit dia sih banyak.

BH sehari sebelum berangkat mendaki gunung mampir di kostku di Muwardi Raya, tiba² datang didepan jendela waktu itu aku sedang belajar untuk ujian pathologie dan dia ngomong: “Ci aku pamit mau mendaki gunung sama anak UI, nanti lama lho ga ketemu” setelah dia hilang baru aku sadar akan kata² BH pada waktu itu.

Tahun pertama aku ga krasan tinggal di Jkt, dan dia selalu menghibur aku dgn naik DKW biru pergi jalan² atau keluar makan di pasar grogol atau nonton bioskop.

Terima kasih semuanya karena kalian mengenang PBH dgn kenangan yang bagus dan sangat mengesankan, aku sangat terharu dan gembira setelah baca email² kalian.

Aku sampai sekarang kalau dengar lagunya BEE GEES jadi mengenang PBH waktu masih hidup dan memang lagu favorit dia,

Aku senang sekali bisa email²an sama kalian, karena dunia jadi terbuka sepertinya, kita menggali peninggalan kuno yang penuh dengan kesan.

Nama lamaku yg kalian kenal adalah Poey Swan Hiang, karena nama ini sudah hampir 40 th tidak dipergunakan jadi agak kagok, hanya papi dan mami dan saudara² yg masih panggil nama lama.

 


Tambahan dari Freddy

 

Setelah membaca tulisan Dian dan juga Kaypang dan teman² lain, aku ingin sedikit menambahkan beberapa hal. Sungguh luar biasa ingatan Kaypang ini, sampai detail² tanggalnyapun bisa ingat semua. Kalo aku, sudah hands up deh.

Aku ingat, suatu pagi, masih tidur di kost ku, dibangunin sama teman kita Tris Budiono yang kuliah di FT Mesin UI : “HEGH, TANGI, KONCONE DEWE ILANG NING GUNUNG, MELU NGGOLEKI GIH” Saya ogah2an njawab : “KONCONE DEWE SOPO?”

Dia bilang : “ARIEF”, kemudian saya tanya lagi : “ARIEF SOPO?”, dia jawab : “MBOEN HAUW”, baru saya bangun tenanan.        Waktu itu saya masih indekost di Jl. Dempo no 7 - Matraman. Belakangan pindah ke Salemba I/8 dan kemudian kontrak rumah di Cimandiri no. 3 - Cikini.

Pagi itu saya sudah berada di Jl. Sadang dirumah Boen Hauw bertemu dengan teman main radio yang juga tetangga sebelah rumah, Phytagoras (belakangan callsignnya YBØGP) dan kakak iparnya Wawan. Mereka menganjurkan untuk tanya “orang pinter”, yang mohon maaf, saat itu saya “tidak percaya”, karena kefanatikan terhadap agama Katolik yang tertanam dihati saya. Saya kemudian pulang kembali ke kost, dan ketemu tetangga sebelah rumahku, Maman dan ceritakan semuanya. Dia ngajak untuk ke eyangnya di Sukabumi yang dikenal sebagai “orang pinter” disana. Karena masih eyangnya Maman, maka saya mau diajak kesana, dan dengan naik bus akhirnya malam jam 22.00 an kami berdua tiba dirumah Aki Ipong, eyang Maman. Saya sudah kenal Aki sebelumnya, karena Aki sering ke Dempo, dan saya sering main kerumah Maman.  Aki kemudian membekali kami dengan menyan untuk dibakar, dan kami disuruh ngikutin arah kemana asap pergi, kesitulah jalan yang dilalui Boen Hauw, katanya.

Terus kami bermalam dirumah Aki dan pagi² berikutnya kami berangkat ke Cisaat.

Di pos polisi Cisaat, kami bertemu teman² Mapala (mahasiswa pecinta alam) yang bawa mobil dan nanya jalan  sama polisinya. Kami terus ikut mereka ke Posko pencarian dikaki gunung. Anehnya, mobil terasa berat sekali, dan tiba² saja mobil oleng dan kejeblos ke selokan dipinggir sawah. Kepercayaan anak², sopirnya “tidak bersih” pagi itu. Dengan dibantu petani² setempat mobil bisa kami naikkan kembali, dan Maman minta dia yang kemudikan sambil pasang ikat kepala bawaan dari Aki, dan akhirnya kami sampai ketujuan dengan selamat, walaupun sepanjang perjalanan mobil berjalan oleng kiri-kanan.

Maman kemudian membentuk group sendiri dalam pencarian dengan menggunakan “bantuan” dari Aki Ipong, saya tidak ikut mereka karena masih “tidak percaya” dengan cara² paranormal. Saya bergabung dengan team Mapala yang lain, termasuk Herman Lantang yang saat itu benar² membuat saya mengagumi kepribadiannya. Banyak hal² baru yang saya pelajari dari beliau.

Karena saat itu menjelang waktu ujian akhir  perkuliahan, maka saya beberapa kali pulang ke Jakarta pada saat kuliah subject² yang saya anggap penting diikuti.

Saat² pulang Jakarta, saya selalu mampir ke Jl. Sadang, dan sejak lepas dari Maman, Phytagoras selalu bersama saya sampai ketemunya kedua jenasah rekan² kita itu. Di Jl. Sadang itulah saya ketemu dengan Kaypang, Hong Sing, Dian dll. Kemudian saya bersama mereka ke Oom Handoyo di Krukut seperti yang diceritakan Kaypang. Satu hal yang saya ingat, Oom Handoyo memberikan kalung berisi rajah, tapi jumlahnya kurang 1, saya cuman mbatin, kalau toh saya diberi toh tidak akan saya pakai. Herannya beliau bisa tau yang saya batin lho. Seingat saya, pertama saya ikut mereka, kami datang berempat, boncengan 2 motor, tapi maaf, benar² blank siapa² yang bersama saya saat itu. Oom Handoyo bilang, regu pencari sudah benar arahnya sampai ke batu besar, dimana para pencari  memperkirakan Boen Hauw turun kebawah, tapi menurut Oom Handoyo, justru dia naik keatas. Kaypang inget ngga hal ini ?? Memang saya ingat, pernah sampai kebatu yang dimaksud, dan memang kita perkirakan dia turun kebawah. Kok bisa tahu dia yah (cuman mbatin waktu itu, ndak berani ngomong). Kemudian pencarian diubah, sampai batu besar itu lagi, para pencari kami minta naik keatas, ternyata mereka sampai ke kolam dimana rombongan Maman sudah duluan sampai, dan rombongan saya (Mapala dan PGT) juga tiba disana dari arah lain. Tiga (minimal) rombongan dengan “bekal” dan “kepercayaan” lain² bertemu disatu tempat. Belakangan hal inilah yang membuyarkan kefanatikan saya terhadap satu agama. Seingat saya, komunikasi waktu itu tidak 2 meter, tapi menggunakan PRC nya ABRI, yang menggunakan 3 macam antena, tergantung medannya. Pesawat 2 meteran setahu saya baru keluar menjelang akhir tahun 1980 an.

Waktu di Oom Handoyo, pertama kali kami tanya nama Boen Hauw, beliau lalu membakar rokok 555 dan mengoleskan apinya ketelapak tangannya dan dia bisa melihat sesuatu ditelapak tangannya yang mana kami tidak bisa melihatnya.

Pertama beliau melihat orang lain, bukan Boen Hauw kita, kemudian beliau tanya siapa nama bapaknya, saya jawab Poey Hwie Tiong, dia ulangi hal yang sama sambil kadang² menggoyangkan telapak tangannya yang ada cincinnya gede dekat telinganya, kelihatannya itu handphone dia, karena dia mendengar sesuatu, dan kemudian dia menggambarkan ciri² yang persis Boen Hauw kita, baru kita bilang iya. Beliau bilang, anaknya seneng nyanyi yah, nha ini baru cocok. Setelah mendapat “bekal” secukupnya dari Oom Handoyo, kita harus berlomba dengan waktu, karena Oom Handoyo bilang Boen Hauw masih hidup tapi sudah lemah sekali. Cilakanya hari sudah malam dan kesulitan kendaraan, eeeeh nasib baik kami dapat tumpangan mobil patroli polisi Volvo putih yang sudah diceritakan Kaypang. Akhirnya kami sampai ke Posko di Cisaat lagi dan saya bergabung dengan rombongan PGT, karena mereka tidak mau ikut Mapala yang dikomandoi Herman Lantang. Kata mereka : Herman itu bukan manusia, mereka yang dilatih dihutan aja tidak bisa ngikutin Herman. Jarak yang harus ditempuh mereka sekitar hampir 2 jam, bisa ditempuh Herman kira² ½ jam lebih, kurang dari 1 jam. Ternyata Herman tidak pernah jalan, tapi lari !!!

Luar biasa !!

Satu hal yang saya ingat dari Herman Lantang ini, ialah : pada suatu malam, hujan, ditenda (saya lupa dipos mana, mungkin di Cisaat), saya didalam, dia datang dengan telapak tangan kanan dibebat. Saya tanya kenapa Man, dia bilang rasanya ada duri yang masuk dalam tanganku, tolong dikeluarin deh.

Saya kemudian ambil PPPK Box. (Saya pernah dididik PPPK di RS. Elisabeth - Semarang). Saya buka, ternyata memang benar, ada duri yang nancep ditelapak tangannya, kelihatannya sudah agak lama, karena agak bengkak. Setelah berhasil mengeluarkan durinya dengan peniti, waktu akan saya berikan obat, dia ngga mau. Dia cuci tangannya dengan air tritisan hujan dari pinggir atap tenda, kemudian keluarkan beberapa jenis daun²an, dikunyah sambil mringis², pahit mungkin yah, lalu dipopokkan kebekas lukanya dan minta dibalut. Saya pikir wong edan iki. Ternyata pagi harinya, saya tanya dia bagaimana lukanya, dia buka balutannya, sudah kempes bengkaknya dan kering lukanya.

Cuman minta plester aja untuk nutup lubangnya. Ini satu hal yang saya kagumi dari Herman Lantang, pengetahuan obat2an dari daun² alamiah.

Saya mencoba menyambung hal² yang masih dalam ingatan saya, tentu tidak bisa berurutan seperti KP karena saya hanya menulis apa yang saya ingat, sedangkan tanggal kejadiannya udah tidak ketemu dalam memory saya.

Berawal dari peta militer yang didapat Boen Hauw entah dari mana, karena sebenarnya peta ini sifatnya rahasia, (demikian yang aku dengan dari rekan² PGT yang ikut mencari digunung), maka Boen Hauw dengan Willy kemudian menyuruh teman²nya (5 orang pemula, yang baru pertama kali naik gunung, dan selamat semua), untuk menuruni jalan sesuai petunjuknya, dan mereka (BH dan W) akan mencoba membuka jalur baru sesuai peta yang didapat menuju Sukabumi. Dari merekalah diketahui bahwa BH dan W hilang. Dari 5 orang tsb hanya 2 yang ketemu saya, yang ikutan naik lagi untuk mencari seniornya, yang 3 lainnya dengar² digrounded sama orang tua mereka.

Peta ini dibuat oleh kesatuan militer yang ditugaskan untuk memburu sisa² laskar DI/TII yang melarikan diri dan bersembunyi dihutan. Mereka membuat semacam perkampungan sendiri, dan sangat menguasai medan setempat, sehingga tiap ada operasi, kebanyakan mereka selamat dengan bersembunyi.

Entah idea apa yang muncul sehingga BH dan W berniat mencoba melalui jalur ini, sebab menurut juru kunci gunung yang sempat saya temui, sebelumnya, sewaktu BH & rombongan minta ijin mendaki, beliau sudah memperingatkan BH dan W untuk membatalkan niat mereka ini, karena sudah sering ditemukan jenasah didaerah itu yang tidak diketahui sebab kematiannya. Menurut beliau ini, mereka dibunuh oleh sisa² kelompok yang bersembunyi tadi supaya tidak ketahuan persembunyian mereka. Mungkin saja dengan ramainya orang² mencari, mereka justru bergabung dengan rombongan pencari ?? Ngga tau deh.  Well ini adalah salah satu hal yang pernah saya tuliskan sebelumnya, kisah ini membawa banyak mystery yang tidak terungkapkan, dan saya rasa biarlah demikian adanya, karena toh BH sudah bebas dan senang sekarang, terbukti dari bisanya kita semua kumpul dalam waktu singkat seperti ini. Pasti ini kehendak BH. Hanya saja selalu akan menjadi mystery buat saya.

Kalau saya gatuk²ke semua cerita juru kunci ini, ya ada “mungkin” benarnya. Kenapa ?

Kita lihat aja, sewaktu jenasahnya diketemukan, pertama yang saya coba lihat adalah bekas operasi usus buntunya, dan memang ada. Rupanya kenakalan BH dengan sok pamer bekas operasinya ini diketahui banyak orang yah, sehingga semua mencari bekas operasi ini duluan sebagai tetenger/tanda² BH.

Wajahnya memang berubah, agak bengkak. Menurut tenaga medis (rasanya belum dokter) yang memeriksa, kayaknya tercekik, dan tidak banyak air dalam perut maupun paru2nya. Ini dibuktikan dengan meng-guncang² tubuhnya, tidak ada suara kemruyuk dalam perutnya. Berarti BH sudah meninggal sebelum jatuh atau dijatuhkan keair. Ini versi mereka, dan hanya bisa dibuktikan kalau diautopsi dan dilihat dalam tubuh BH. Mereka menyatakan BH meninggal 30 September 1970, sehari sebelum ditemukan jenasahnya.

Pada saat ditemukan, celananya agak mlotrok, sepertinya orang akan buang air besar, dan sepertinya kita beranggapan demikian atau dibuat menganggap demikian, karena ransel dan peralatan² BH ditemukan terlepas dari badannya, jadi se-olah² memang dilepasnya supaya agak bebas kalau mau buang air besar.

Luka dikening kanannya cukup besar, dan rata² kita menganggap itu luka kebentur waktu jatuh, tapi tidak demikian dengan paramedic dan rekan² PGT serta Mapala lainnya. Kalau itu luka terbentur, tentu akan memar disekitarnya dan bentuknya tidak lurus seperti itu. Padahal tidak ada bekas memar disekitarnya.

Kemudian bekas goresan dilehernya, banyak yang beranggapan itu tergesek ranselnya. Tapi  pendapat lain mengatakan tidak, karena kalau kena ransel,  pasti bekas goresan itu dipundak adanya, sedang ini dileher yang cukup jauh dari pundak kalau kena ransel. Dugaan teman² ini, itu sepertinya bekas cekikan tali, dan memang kalau dilihat besarnya, sebesar tali yang biasa digunakan, tapi tali² mereka sudah tidak ada semua. Mungkin karena menyadari kalau tersesat lalu tali² itu dibuang atau sudah digunakan untuk menuruni tebing ditempat lain, saya tidak tahu. Apakah luka ini didapat sewaktu menuruni tebing dengan tali, saya juga tidak bisa memastikan. Yang jelas jenasah BH sudah cukup lama terendam air, paling tidak satu hari, karena bekas luka² semuanya sudah medok/mekar, dan sewaktu jenasah akan dimandikan di RSCM, kulit kakinya semua nglokop/terkelupas melekat disepatunya. Pada saat membuka sepatu ini saya bersama Kusno Andarussalam (sekarang YB2DN), sahabat BH dan juga John yang sekarang sudah pensiun dan tinggal di Banyumanik – Semarang.  Mungkin juga masih ada teman lain, tapi saya ngga ingat.

Pada saat evakuasi jenasah BH, terasa berat sekali, padahal tidak ada air diperutnya. Tiap 6 – 10 meter jalan, mesti gantian memikulnya, makanya sampai lama sekali baru tiba di Posko Cisaat. Pemikulnya kehabisan tenaga, karena selain medan yang sulit, hujan dan berat tubuh ini mengganggu sekali, mana kami sudah capek semua saat itu, hanya bermodalkan rasa lega karena jenasahnya ketemu sajalah kami masih berjalan terus,

Pada saat iring²an ambulance membawa jenasah ke Jakarta, memang ada rombongan mobil yang rada ugal²an, memaksakan mendahului rombongan kami, padahal jalan sempit dan hujan. Dia sampai selip dan keluar jalur aspal. Untung sopirnya akhirnya bisa menguasai kendaraannya yang montang manting, sehingga tidak terjadi kecelakaan fatal.

Pada saat pemakaman BH, saya lihat banyak sekali rekan²nya dari YARSI yang ikut, mereka (mayoritas wanita) pada menangis, dan fotonya BH sempat jadi rebutan beberapa temannya. Saya rasa kalau dibilang saat itu rada rawan perbedaan etnis, hal itu tidak terasa pada diri orang² pecinta alam, kami merasa semuanya satu, dan saya menyaksikan bahwa mereka saling menghormati kepercayaan orang lain.

Apalagi terhadap BH yang begitu supel dan bisa menempatkan diri dilingkungannya, saya tidak merasakan hal itu dipemakaman. Mungkin saja hal itu dipolitisir oleh segelintir orang yang ingin popular dengan me-manasl²kan suasana, saya ngga paham. Yang jelas, kami di MAPALA maupun ORARI sama sekali tidak mengenal hal itu.

Pada waktu pencaharian BH, waktu aku sedang di Jakarta, nginep dirumah BH di Jl. Sadang, pas malam Jumat Kliwon.

Aku tidur berdua dengan Phytagoras - YBØGP, tetangga sebelah rumahnya BH. Menjelang tengah malam, aku terbangun, karena mendengar kayak ada orang merintih atau menyanyi gitu. Dan jelas aku melihat BH dengan tangan kelihatan sedang seperti berdoa rosario, tapi kok ngga ada rosarionya. Tiba² aku tersadar dari halusinasiku karena aku dipukul oleh Phyta dengan keras sambil ber-teriak² histeris dan tampang ketakutan banget, mendelik² ngliatin aku aja. Aku mencoba menenangkan dia, tapi semakin aku dekatin dia semakin ketakutan dianya dan teriak² tapi ndak jelas omongannya. Akhirnya aku bentak dia, suruh dia nyebut, (istilah doa dalam islam), baru setelah dia nyebut dan sadar, dia nangis sambil pelukin orang yang habis dipukulinya. Teriakannya membangunkan seisi rumah, aku lupa siapa aja, mungkin ada Dian, Noniek yang pasti adalah cik Threes, tantenya BH yang ngga mau aku panggil tante.

Mereka pada nanya², dan akhirnya aku ceritakan apa yang aku lihat. Baru aku tahu dari Noniek atau Dian, bahwa memang rosario BH ketinggalan di Semarang saat terakhir dia pulang dan minta diulang tahuni untuk terakhir kali beberapa minggu sebelumnya. Rosario ini biasanya selalu dikalungkan dilehernya, (kelihatan dibeberapa fotonya, terutama foto yang di Merbabu), tapi waktu terakhir pulang Semarang ketinggalan, dan karena ngga sempat diambil lalu mau dipaketkan sama papi Hoey Tiong, dan malam itu rosarionya masih dirumah. Jadi BH naik gunung kali ini rosarionya ketinggalan, ngga dipakai. Akhirnya kita jadi ketakutan, ngga bisa tidur. Saya keluar rumah, jalan² dikampung sama Phyta, baru dia bisa cerita, bahwa dia melihat saya seperti orang hitam yang besar sekali mau nyekik dia, makanya dia ketakutan dan teriak². Mungkin saat itu BH menginginkan rosarionya?? Ngga tahu deh.
Saya masih kehilangan kontak dengan Phytagoras, dia pasti ingat kejadian malam itu.

Saya pernah kerumah di Seroja sewaktu liburan Natal setelah kejadian ini bersama Phytagoras yang sejak kejadian itu sampai beberapa waktu lamanya selalu takut untuk tidur sendirian, begitu juga saya sendiri, sampai  tidak tidur di kost tapi bersama Phyta dirumahnya terus. Tapi setiap akan tidur, kejadian Jumat Kliwon selalu kami jadikan bahan guyon², supaya saya tidak dipukuli lagi kalo dia ngelindur.

Mami Hwie Tiong begitu histeris melihat saya, nangis dan me-mukul²i badan saya karena teringat BH, sehingga saya sampe ketakutan sendiri, dan tidak pernah nongol lagi kesana setelah itu. Saya jadi inget, sempat ditunjukin foto² sama Nonik kalau ndak salah, saya lihat ada juga foto²ku sewaktu pemakaman BH.

 

Tambahan dari Go Hong Sing

 

Wah,ceritanya Kaypang betul² komplit ! Termasuk yg menceritakan ttg aku .

Karangan ini , akan kutunjukkan pada anakku.

Kenangan ttg Mboen , yg sampai detik ini masih aku ingat : Dalam ngobrol , untuk menunjukkan kegembiraan hatinya dia selalu ngomong :......LINCAH & JENAKA.......

Aku lupa , apakah ini khusus UNTUK Kaypang saja ?? Sebab, sampai detik ini , Kaypang ya masih lincah & jenaka !!

Dari pribadi Mboen , saat ini masih tergambar jelas wajah & gerak gerik nya saat ke indekosku sebagai :...penuh spirit ...bicaranya cepat & volume nya kuat.... gerakannya tegas(nggak nglemer) , kalau bicara...face nya berseri seri ..dan cepat bersahabat walaupun masih ketemu beberapa kali..., seingatku dia ya nawari aku meng iming²i ...bagaimana enaknya kalau naik gunung... tapi walaupun menarik, wong aku ini nggak suka badan capai ,ya nggak mau ikut²an.

Kalau datang ke kos , dia pakai jaket jeans biru yg sudah kumal..

Dari gerak gerik dia , aku merasa dia sebagai orang yg tulus... Sayang dia nggak bisa menjadi dokter.

Aku percaya bila dia jadi dokter, pasti akan jadi dokter yg jujur & care pada pasien , sebab dia mempunyai pribadi yg terbuka,nggak pakai kembangan²  & jaim,pasti dia akan punya nama baik , tidak seperti kondisi saat ini yg menurut pendapatku,hampir mungkin lebih 90 % dokter, mentalnya brengsek, cuman jadi kacungnya perusahaan² obat & RS !!Kalau perlu mencelakakan pasien asal dapat fulus.Kalau ada konco² yg kerja/punya perusahaan obat pasti setuju dengan pendapatku ini.

Kenangan ttg Mboen ini, entah kenapa, sampai detik ini masih terbayang jelas dalam pikiranku ,saat² dia ke kos & ngobrol² rasanya aku masih dengar kata²nya, mungkin secara nggak kusadari pribadi si Mboen ini termasuk salah satu  inspirasi dalam pembentukan pribadiku.

Sebagai respect pada dia, entah bagaimana sampai detik ini aku masih masuk dalam 10 %  dokter yg bertahan terhadap polusi mental.

Aku harap keterangan ini bisa melengkapi kenangan pada si Mboen sebagai pribadi yg bisa menjadi contoh walaupun hidupnya sangat singkat.

 

 

 

Tambahan dari Endang (Poey Bwee Hiang)

 

Terima kasih atas cerita tentang koh Boen, jadi aku (Endang - Bwee Hiang) bisa tahu ceritanya dengan lebih lengkap karena waktu kejadian pencarian koh Boen aku lebih banyak tinggal dirumah Jl. Sadang.

Ada beberapa cerita yang lucu-lucu dan  berbau misterius pada masa pencarian koh Boen;

Ada yang memberitahu dari orang pintar Semarang bahwa :

Kalau ketemu Kidang tidak boleh ditembak atau dibunuh sebab itu adalah jelmaannya koh Boen.

Jadi kita² yang mendengar juga merasa aneh tapi demi untuk keselamatan koh Boen jadi ada beberapa orang yang diberitahu juga.  Ternyata setelah selesai pencarian itu, twa-ie Bandung bilang bahwa kita salah menafsirkan kata Kidang yang diartikan sebagai binatang kijang, yang katanya dalam bahasa cina artinya tempat kenangan.

Mami yang pada waktu itu belum menjadi orang kristen, setiap malam berdoa dengan membawa hio di halaman depan kamarnya koh Boen dengan yakin bahwa koh Boen masih hidup, tapi pada suatu malam setelah selesai berdoa mami tiba² bilang bahwa Boen Hauw sudah meninggal  sebab tadi waktu mami berdoa mami melihat seperti ada kilatan sinar putih yang terbang ke langit. 

Memang betul seperti yang diceritakan oleh Dian bahwa waktu membawa jenazah koh Boen dari gunung ke Jakarta ada mobil yang mau nyalip mobil yang membawa jenazah, tapi tiba² mobil itu selip dan berbalik arah, tapi untung tidak ada yang celaka.

Aku kalau mendengar lagunya Koes Plus yang ada kata²nya Ke Jakarta aku kan kembali, walau apapun yang terjadi” aku jadi teringat koh Boen sebab kalau lagi ke Bandung dia sering nyanyi lagu itu. Dan memang apapun yang terjadi dia kembali nya ke Jakarta.

Ranselnya koh Boen yang dulu dibawa kegunung terakhir kali ada di simpan di markasnya anak² Wanadri regu pencinta alam dari Bandung (semoga sampai sekarang masih disimpan sebab lokasi markasnya yang dulu sekarang sudah menjadi sebuah mesjid).

Menurut cerita anak wanadri orang yang diikat untuk mengambil jenazah koh Boen di Danau adalah kang Iwan Ompong (Iwan Abdulrahman - ketua Wanadri saat itu)

Kalau tidak salah koh Boen ditemukan bukan tanggal 30 September tapi sehari atau 2 hari sebelumnya sebab seingat aku dia kuburnya tanggal 30 September, sebab aku ingat pernah ngobrol dengan seseorang(aku lupa) bahwa memang koh Boen itu rruuaaar biasa, waktu lahir 17 Agustus orang pasang bendera satu tiang dan waktu menginggal dan dikubur orang pasang bendera setengah tiang (meskipun hanya kebetulan saja).

Sampai disini dulu aja semoga tambahan ini bermanfaat.

Salam dari

Endang Bandung

 

 

Tambahan dari Yeu Bing Djien

 

Ada sesuatu yang istimewa pada 4x9 tahun perginya teman-baik kita, saudara Poey Boen Hauw (Arief Kusnanto), ada suatu peringatan yang unik, unik berarti tidak ada dua-nya, karena itu saya tidak bisa bilang "unik sekali", karena unik itu hanyalah ada satu saja, yaitu ini.

Telah terjadi semacam "avalanche effect" (perkataan Belanda: "lawine-effect", èfèk salju-terjun):

 
Theo van Beusekom (mantan dosen Universitas Kristen Satya Wacana (Salatiga) - Fakultas Tehnik Elektro) menceritakan pengalamannya naik Gunung Merbabu bersama isterinya (Helen) disertai beberapa foto (di mailing list FTE);

Loading ....

So Hing Tjhwan (John) merasa tergugah untuk juga menceritakan pengalamannya naik Gunung Merbabu di tahun 1970, bersama Poey Boen Hauw dan rekan2 yang lain, juga disertai sejumlah foto2 kenangan di Gunung Merbabu (di mailing list FTE);

Kho Han Tjioe (August Handoko Reksosamoedro) telah meneruskan e-mail Hing Tjhwan tentang pendakian Gunung Merbabu itu kepada mailing list Loyola-69 beserta koreksinya tentang nama gunung, Pangrango bukan Burangrang;

Saya (Yeu Bing Djien) menulis koreksi bahwa Boen Hauw kecelakaannya di Gunung Pangrango, bukan Gunung Burangrang, antara lain dalam e-mail langsung kepada Tjeng Som Liem (Edhi Siswoyo), Lie Bwan Tong (Santoso Utomo) dan Liem Swan Bie (Arianto Kusumadjaja);

Som Liem menyampaikan hal ini kepada Hing Tjhwan (di mailing list FTE), Hing Tjhwan membenarkan;

Kemudian ada reaksi dari antara lain (di mailing list Loyola-69): Liem Swan Bie (Arianto Kusumadjaja), P.M. Sulistijo, Liem Chu Hwie (Widyo Slamet Budiman), Liem Bing Tjoan (Freddy H. Susanto), Liem Tjwan Hauw, Tan Hak Liam (Yos Effendi Susanto), Kho Han Tjioe (August Handoko Reksosamoedro);

17.09.2006 lahirlah Website http://semarangan.net/BoenHauw;

Bing Tjoan membuat kontak dengan Noniek Poey dan Hedwig Tan;

Noniek Poey kontak dengan Dian Poerwito (Ciek Swan Hiang);

Reuni di Kafe Victoria, Pondok Indah Mall-2, Jakarta, 7 Oktober 2006 siang, atas prakarsa P.M. Sulistijo yang dulu duduk di sebelah Boen Hauw sewaktu duduk di kelas 3D 1969 Kollege Loyola;

Reuni kecil di Restaurant Paradijs, Vredenburg 28, Utrecht, 7 Oktober 2006 malam, disambung ke-ésok-an harinya di De Bilt, tempat Dian Poerwito (Ciek Swan Hiang);

The Kok Tjhiang (Kay Pang - Tony Juwono Kristianto) menulis ceritanya yang hebat sekali tentang pencarian dan penemuan Boen Hauw yang tidak bisa dilupakan lagi;

Cerita Kay Pang ini segera "in no time" disusul dengan/oléh cerita2 pelengkap dari Go Hong Sing, Dian Poerwito (Poey Swan Hiang), Liem Bing Tjoan (Freddy H. Susanto) dan Endang Hanapi (Poey Bwee Hiang);