Hari itu, Rabu malam Kamis tanggal 9 September 1970, aku
(The Kok Tjhiang alias Tony J.Kristianto alias Kay Pang) dan Go Hong Sing alias
Harry Susanto (HS) – si tukang sulap - sedang berada di rumah kost Jl.Makaliwe
I no.17. Kami sudah bersama-sama berburu tempat untuk kuliah sejak dari
Sejak awal tahun kita berdua mengontrak kamar depan yang
sebenarnya adalah ruang tamu dari rumah keluarga Soeroyo – pegawai Direktorat
Jenderal Perhubungan Udara yang berkantor di Airport Kemayoran. Ruang tamu itu
disulap jadi kamar kost untuk menutup kebutuhan ke empat anaknya yang sudah
mulai remaja. Jadi pintu dan jendela kamar kita itu langsung menghadap ke
halaman depan dan sekitar 8 meter dari pinggir jalan.
Sekitar jam 19:00, kami berdua barusan selesai menyantap
makan malam dari panci rantang langganan kami. Seperti biasanya, habis makan
bah Hong Sing sudah langsung menggelosor kembali di ranjang kayunya yang
menempel di tembok sebelah dalam. Sambil disinari lampu neon empat puluh watt
ia sudah sibuk kembali memegang di satu tangannya diktat hapalannya yang
dilipat dua dan tangan lainnya dilipat di atas kepalanya sambil menteng
kelek. Rasanya selama beberapa bulan
diktat-diktat itu tidak pernah habis-habis dihafal isinya. Ini adalah
risiko yang harus dijalani kalau kuliah di Fakultas Kedokteran. Kaus singlet
dan celana pendek adalah baju seragamnya HS kalau di rumah. Padahal, kalau keluar rumah dia selalu rapih – gekleid.
Aku selalu ingat akan prinsipnya untuk selalu keluar dalam keadaan rapih agar
bisa menghargai diri sendiri. No sandal!!! Apalagi sandal jepit seperti
anak-anak sekarang!!! Tabu untuk dia.
Aku sendiri sedang duduk di atas
sadel motor Honda S90 warna merah maroon milik HS yang diparkir dalam
kamar, nempel ke tembok antara pintu depan dan pintu ke belakang, ketika
secercah sorotan lampu menembus masuk ke dalam kamar disertai bunyi motor DKW
biru masuk ke halaman depan kamar kami. Si mBoen – demikian aku biasa
memanggilnya – muncul dengan setelan khas, celana dan jaket blue jeans serta
T-shirt putih. Jaman itu tidak ada keharusan pakai helm.
Dia menyerobot masuk kamar sambil
mengumbar senyumannya yang khas, lalu duduk di atas ranjangku yang menempel ke
jendela depan. Kalau di Semarang dulu, dia suka meneriakkan singkatan namaku
berkali-kali dari luar rumah untuk memanggil aku keluar: te..ee, te ka
te...ee!!!
Setelah duduk, mulailah dia
bercerita tentang rencananya mau naik ke puncak Pangrango lalu turun dari
Sukabumi dengan mengikuti peta militer yang barusan didapatnya. Menurut peta itu ada jalan dari puncak Pangrango ke
Cisaat - Sukabumi. Aku dibujuk-bujuknya untuk
ikut bersama dia dan Willy Buntaran. MBoen waktu itu sudah kuliah di
tingkat satu FK Yarsi di Cempaka Putih sedangkan Willy adalah mahasiswa tingkat
tiga FKUI.
Aku terpaksa menolak ajakannya
walaupun dia membujuk terus karena aku sedang mempersiapkan ujian kimia pada
hari Kamis dua minggu lagi. Akhirnya dia pulang dengan sedikit kecewa.
Itulah kali terakhir aku bertemu dia dalam keadaan hidup.
Kira-kira sebulan sebelum pertemuan
9 September itu, aku ikut bersama mBoen naik ke puncak Pangrango. Setelah
berkali-kali dibujuknya, akhirnya aku mau juga pergi bersamanya. Tentunya
sambil melanggar pesan Mami-ku agar tidak ikut-ikutan naik ke gunung. Peristiwa
Soe Hok Gie membuat Mami-ku tidak rela melepaskan anaknya mengikuti olahraga
atau hobby seperti itu. Waktu itu mBoen sudah berkali-kali naik gunung. Aku
mengajak teman sekuliahku, Arianto Widjaja - anak dari Solo. Kami bertiga
berangkat naik bis arah ke Bandung dari Terminal Lapangan Banteng pada
suatu hari Jum’at siang dan sore harinya berhenti di Cimacan - pertigaan
Cibodas. Dari sini kita berjalan naik ke arah
Taman Kebun Raya Cibodas. Kita sempat ngopi melepas lelah di rumah penduduk
sampai menjelang mahgrib. Ketika memasuki Taman Kebun Raya Cibodas hari sudah
malam dan kita mulai melakukan pendakian dengan menggendong ransel di punggung
dan lampu senter dan lampu kapal di tangan. mBoen berjalan di depan untuk
membuka jalan dan setiap kali harus berhenti untuk menunggui kami berdua yang
tertinggal. Pendakian ini sungguh melelahkan dan mematahkan semangat bagi
seorang pemula seperti aku dan Aryanto. Ingin rasanya kami duduk berhenti,
menyudahi pendakian ini dan minta pulang saja. Tapi mBoen terus membesarkan
semangat kami dengan mengatakan bahwa sebentar lagi sudah sampai, kita sudah
dekat, sehabis tikungan ini kita bisa istirahat. Menjelang air terjun, kami
sempat berhenti sebentar dan berusaha untuk menyalakan api, namun angin dingin
yang bertiup kencang dan hawa dingin yang merasuk sampai ke tulang membuat
jari-jari kami kaku sampai tidak mampu menyalakan korek api. Akhirnya, setelah
empat jam berjalan mendaki, kami berhasil mencapai tempat persinggahan Kandang
Badak menjelang tengah malam. Di dalam cottage yang terbuat dari balok-balok
kayu yang ada disitu sudah banyak pendaki lain yang beristirahat, tidur
berjejer di depan api pendiangan untuk mengusir hawa dingin, kami berkenalan
dengan Willy Buntaran yang masih berjaga.
Willy Buntaran yang kukenal untuk
pertama kali dan terakhir kalinya ini adalah mahasiswa tingkat tiga FK-UI yang
berprestasi tinggi. Orangnya pendiam dan sangat pintar. Namun dia tidak suka
menunjukkan kepandaiannya sehingga setiap kali ujian dia sengaja membuat
kesalahan atau tidak mengerjakan seluruh soalnya agar nilainya tidak terlalu
mencolok tinggi. Zaman itu, orang Cina di UI termasuk barang langka dan menjadi
sosok yang disentimeni sehingga memang seharusnya dia pandai-pandai membawa
diri agar tidak terlalu menonjol. Dia juga anggota Mapala UI – Mahasiswa
Pecinta Alam UI – yang sudah biasa mendaki gunung sendirian.
Pagi harinya aku masih sempat bikin
Supermie di luar bersama Willy. Kita akhirnya memutuskan untuk mendaki
bersama-sama ke puncak Pangrango. Rombongan kita sekarang menjadi empat
orang. Sekitar jam 1000 pagi kita tiba di
alun-alun puncak Pangrango. Disana kita berfoto-foto,
bergantian karena kita tidak membawa tripod. Salah satu adalah foto kita
bertiga berdiri sambil saling merangkul pundak di atas batu penanda puncak
Pangrango, mBoen disisi kananku, aku di tengah dan Willy di sisi kiriku. Foto lainnya adalah aku di sisi kanan, mBoen di tengah
dan Aryanto disisi kiri. Itulah foto-foto terakhirku bersama mBoen.
Salah satu foto itu ternyata muncul di koran Kompas beberapa minggu kemudian.
Rabu malam, 16 September 1970,
seminggu kemudian setelah mBoen meninggalkan tempat kost kami, kira-kira pada
jam yang sama, sorotan lampu disertai bunyi deruman scooter Vespa yang khas,
masuk ke halaman depan kamar kost kami dan diparkir di tempat yang sama dimana
mBoen memarkir DKW-nya.
Waktu itu aku sedang serius belajar
ilmu kimia yang akan diuji pada hari Kamis 24 September minggu depan, aku
menengok keluar dan muncul wajah yang kukenal baik, koh Tony – sepupunya mBoen
dari Bandung yang sedang co-ass di FKUI. Dia nampak agak terkejut ketika
melihat wajahku nongol di jendela kamar.
“Lho, Tjhiangkie, kamu nddak ikut
mBoen ke gunung?” tanyanya. Aku menjawab: “Nggak…tuh, emangnya kenapa, koh?” Kelihatan
wajahnya sedikit mencelos mendengar jawabanku. Lalu dia berkata pendek: “MBoen
belum pulang!”
Lalu aku bercerita kalau mBoen
memang datang ke tempat kost-ku seminggu yang lalu dan mengajak aku untuk ikut
naik gunung bersamanya dan Willy. Mereka mau mencoba untuk turun dari
Pangrango melalui Sukabumi berdasarkan petunjuk peta militer yang barusan
didapatnya. Dia membujuk-bujuk agar aku mau ikutan, tapi aku menolak karena aku
sedang sibuk mempersiapkan diri untuk ujian kimia.
Belakangan baru aku tahu bahwa
setelah gagal mengajak aku, mBoen berhasil mengajak enam orang kawannya di
Yarsi untuk ikut bersamanya. Namun, karena mereka berenam belum berpengalaman,
maka ke enamnya disuruh turun sendiri melalui rute jalan yang ditempuh
ketika mendaki, yaitu melalui Kebun Raya Cibodas. Rute yang dianggap jalan raya untuk pada pendaki yang
berpengalaman. Mereka berdua memisahkan diri untuk meneruskan petualangannya,
mengikuti peta militer tua yang dipercayainya.
Setelah mendengar penjelasanku, maka
koh Tony pulang dan mulai meminta bantuan kepada teman-temannya di Mapala UI
untuk mencarinya. Berita hilangnya mBoen dan Willy segera tersiar melalui radio
dua meteran ke segala penjuru. Waktu itu mBoen sudah cukup dikenal di
udara (callsign-nya aku lupa!), sehingga dalam waktu singkat mobilisasi tim
pencari segera dilakukan.
Hari Kamis, 17 September 1970, mBoen
dan Willy dinyatakan hilang di gunung. Sorenya para pendaki yang tergabung
dalam berbagai organisasi pecinta alam mulai berhamburan ke gunung untuk
mencari mereka berdua.
Tokoh-tokoh pendaki, seperti Herman
Lantang, Aristides Katoppo, dll.. ikut terjun memimpin
mereka. Mereka sebagian menyisir dari puncak Pangrango menuju ke arah Gunung
Putri dan Gunung Masigit yang terletak di antara Pangrango dan Sukabumi.
Rombongan yang besar menyisir dari arah Cisaat – Sukabumi. Pos Komando (Posko)
didirikan di satu bungalow di Cisaat.
Ketenaran mBoen di udara membuat
pak Hoegeng - Kapolri, yang ketika itu Ketua dari ORARI, mengerahkan satu kompi
Mobrig (Mobil Brigade, sekarang Brimob) untuk ikut melakukan operasi SAR.
Selain itu juga Detasemen Patroli Jalan Raya yang bermarkas di Jl.Gatot Subroto
– Pangadegan dikerahkan untuk membantu transportasi dan komunikasi.
Setelah koh Tony pulang, aku pun
ikut menjadi gundah. Sesuatu telah terjadi di luar rencananya mBoen. Makanya aku berunding dengan Hong Sing (HS). Kalau nddak
salah kemudian muncul ide untuk menanyakan kondisi mereka berdua melalui
paranormal. Nah, dari ide itu muncul nama pak Handoyo yang ada di Krukut
yang diperkenalkan oleh saudaranya HS. Kami berdua pergi menghadap beliau hari
Sabtu. Beliau mengatakan bahwa kelihatannya Willy sudah tidak ada, mBoen masih
ada karena dia shio macan, tapi dia sekarang berada dalam cengkeraman penunggu
Gunung Masigit karena berbuat kurang sopan, dia kencing sembarangan tanpa
kulonuwun. Berita ini kami sampaikan ke Posko
untuk menyemangati tim SAR. Maminya mBoen – tante Wie Tiong – sudah
datang dari Semarang dan kemudian naik ke Posko Cisaat agar dapat mengikuti
perkembangan terakhir dari upaya SAR ini, sekalian membantu mengurus dapur umum
bagi para anggota tim. Masyarakat di sekitar daerah
itupun mulai dilibatkan dalam operasi ini.
Rumah Engku Tjwan Poo di. Gg. Sadang dijadikan Posko keluarga. Hari Senin siang
kami menerima berita bahwa ransel yang berisi perlengkapannya mBoen diketemukan
di pinggir jurang yang cukup curam, termasuk arloji otomatisnya yang sudah
mati. Aku tidak yakin apakah arloji itu
ada tanggalannya. Namun dengan memperkirakan bahwa arloji otomatis itu akan
mati sendiri dalam waktu sekitar 48 jam kalau tidak digerak-gerakkan, maka ada
kemungkinan bahwa ransel tersebut sudah tergeletak disitu sejak hari Kamis
minggu sebelumnya.
Maka pencarian pun mulai diarahkan
ke sekitar wilayah tersebut. Jejak-jejak yang ditinggalkan mBoen mulai dilacak
dan ternyata mengarah menuruni tebing dengan kecuraman lebih dari 60 derajat.
Namun pencarian sampai hari Selasa masih tidak membawa hasil.
Hari Rabu kami berdua, HS dan aku,
ditambah Freddy (aku agak lupa), pergi lagi ke rumah Oom Handoyo. Sesuai dengan
ceritanya Freddy, oleh si Oom itu kami disuruh mencari dan minta bantuan dari
”orangtua” yang menjadi juru kunci - ’kuncen’ Gunung Masigit itu.
Setelah kembali ke Gg.Sadang, kami mendapat berita bahwa siang tadi sesosok
mayat telah diketemukan oleh seorang pemburu. Satu regu tim penyelamat dari
Wanadri telah ada disana, tapi mereka tidak dapat mengenali korban karena
mereka tidak kenal dengan mBoen maupun Willy.
Maka diusulkan agar dapat dikirim
seseorang yang kenal dengan mereka berdua untuk mengindentifikasi mayat
tersebut. Tentu saja pilihannya hanya aku.
Karena itu, malam itu juga aku harus berangkat ke sana dan ikut dengan tim
evakuasi yang akan menjemput mayat tadi. Kami minta bantuan PJR untuk
mengantarkan kami menjalankan misi itu. Maka, sekitar jam 22:00, kami bertiga:
Tjiek Swan, Freddy dan aku, bersama dua anggota PJR berangkat naik Volvo 144
warna putih yang menjadi mobil patroli polisi yang populer. Kami bertiga duduk di bangku belakang, sedangkan kedua
anggota duduk di depan. Baru kali ini kami bertiga duduk di dalam mobil
PJR, untungnya bukan sebagai pesakitan.
Kami menyusuri jalan Kramat,
Salemba, Matraman, Jatinegara, Cawang, Cililitan dan masuk ke jalan Raya
Jakarta – Cibinong - Bogor. Waktu itu jalan tol Jagorawi belum ada, mungkin
dipikir saja juga belum. Setelah melewati Nanggewer, menjelang stasiun pompa
bensin Cibuluh, mobil PJR ini mogok. Ternyata bensinnya habis. Jadilah kita bertiga
turun dan mendorong mobil itu menyusuri jalan yang agak menanjak sekitar 500
meter. Si supir dan Tjiek Swan tetap berada
di dalam mobil. Jaman segitu, jalan itu
sudah sepi sekali. Untungnya stasiun pompa bensin itu buka, sehingga kita bisa
mengisi bensin dan melanjutkan perjalanan kembali.
Setelah melewati kota Bogor (tempat
tinggalku sekarang) kami masuk wilayah Sukabumi. Di wilayah kebun karet desa
Parungkuda Radio Mobil PJR itu tidak dapat menangkap sinyal. Jadi kita berjalan
dalam keadaan radio silence. Akhirnya kami tiba di Cisaat sekitar tengah malam.
Maminya mBoen masih melek dan kita disuguhi supermi panas.
Setelah sempat tidur sebentar,
paginya aku bersama rombongan tim penyelamat berangkat untuk melakukan
evakuasi. Kami mendaki Gunung Masigit sekitar dua jam tanpa berhenti, berjalan
di punggung gunung dengan tebing yang sangat curam dengan kemiringan lebih dari
enam puluh derajat di sebelah kanan kami. Sampai di suatu tebing yang tidak
terlalu curam dan agak dekat dengan dasar lembah, kami mulai menuruninya dengan
bergelayutan seperti Tarzan di pepohonan, akar-akar dan rotan yang memenuhi
tebing tersebut.
Setelah proses penurunan yang berat
ini, kami sampai di suatu sungai kecil yang berair bening dan dingin sekali,
suhunya sekitar delapan derajat Celcius. Sungai
ini cukup dangkal, kedalamannya tidak lebih dari satu meter dengan lebar yang
bervariasi, antara satu sampai tiga meter. Kami berjalan di dalam sungai
ini menuju ke arah hulu. Tanganku terasa beku dan kulitnya berkeriput. Arlojiku
sudah tidak dapat dibaca lagi karena kacanya berembun.
Setelah berjalan bersusah payah,
sambil menyibak air sungai yang dingin itu, sekitar hampir satu jam kami tiba
di suatu kolam dengan air terjun yang tingginya sekitar tiga puluh meter mencurahkan
air kesitu.
Kami bertemu dengan regu
penyelamat yang pertama kali mencapai lokasi tersebut kemarin dan menemukan
jenazah berjaket kuning yang sudah dibaringkan. Aku pun mendekat dan melihat
wajahnya yang sudah memutih dan luka di samping kiri kepalanya yang sedikit
terbuka, ditambah belatung segar yang menggeliat-geliat di dalam dan sekitar
lukanya. Tak syak lagi ini adalah jenazah Willy, teman yang kukenal untuk
pertama dan terakhir kalinya di puncak Pangrango beberapa minggu sebelumnya.
Untuk memastikannya, aku lalu menyibakkan baju dan celananya. Mboen memiliki
bekas operasi usus buntu yang cukup besar, panjangnya sekitar tujuh centimeter.
Tapi, di perut jenazah itu aku tidak menemukannya. Maka yakinlah aku
kalau ini adalah jenazah Willy. Harapanku bangkit kembali, bahwa ada
kemungkinan mBoen masih selamat.
Sementara jenazah sedang
dibungkus plastik dan dipersiapkan untuk di angkat dengan tandu yang terdiri
dari dua batang bambu dan tali-tali, aku memperhatikan ke sekelilingnya. Di
tebing di sisi air terjun itu, kira-kira berjarak tiga meter dari sisi air
terjun, aku melihat bekas tanah dan lumut yang terkelupas membentuk alur yang
tegak lurus dari atas ke bawah. Aku berkesimpulan bahwa itu adalah bekas
barutan dari tubuh Willy yang jatuh dari atas, menyusuri tebing itu dan
akhirnya sampai ke tanah. Ada kemungkinan kepalanya
sudah terbentur sebelum tubuhnya sampai ke tanah. Di bagian atas tebing itu
tidak diketemukan tali atau apapun yang menunjukkan adanya usaha untuk turun
dengan bantuan tali. Tampaknya mereka sudah tidak mempunyai tali lagi
karena belakangan diketemukan talinya tergantung di tebing air terjun yang
lebih atas dari air terjun dimana Willy diketemukan.
Tampaknya mereka berdua sudah
merasa tersesat sehingga akhirnya mengambil keputusan untuk mengikuti alur
sungai yang ada di peta itu, yang memang alurnya akan melewati Sukabumi. Namun
mereka tidak memperkirakan bahwa di alur sungai itu ada jeram dan air terjun
yang harus dilewati. Mereka berhasil melalui air terjun yang pertama, lalu
yang kedua dengan selamat.
Pada air terjun yang ke tiga,
seperti biasanya Willy sebagai pendaki yang senior mengambil inisiatif untuk
melakukan penurunan yang pertama dengan mengandalkan rumput dan semak yang
menutupi tebing itu. Tali sudah tidak dimilikinya lagi karena sudah dipakai
untuk menuruni air terjun sebelumnya. Sayangnya dia tidak berhasil turun
melewati air terjun ke tiga dengan cara seperti seorang pemanjat tebing.
Apalagi jalur penurunannya mengambil posisi di samping air terjun yang cukup licin,
berlumut dan tidak memiliki akar-akar rerumputan yang dalam dan kuat. Akhirnya,
dia terjatuh dari ketinggian sekitar dua puluh meter.
Mboen tentu saja terkejut dan tidak
membiarkan temannya sendirian tergeletak di bawah sana. Ada kemungkinan bahwa Willy
masih hidup sesudah jatuh itu. Sepertinya, mBoen tidak mau mengambil risiko
menuruni jalan yang sama dengan Willy. Ia lalu berjalan mengitari punggung
gunung lalu berhenti di tempat di mana ransel dan jaketnya kemudian
diketemukan. Sepertinya dia tergesa-gesa dan tidak mau disulitkan dengan
barang bawaannya, maka ditinggalkannya ransel dan jaket itu disana. Dari sini
dia menuruni tebing, masuk ke sungai dan berjalan menghulu seperti kita
mencapai tempat Willy berada.
Sepertinya mereka masih sempat berkomunikasi
dan akhirnya Willy dipindahkan ke tepi kolam dan didudukkan bersandar pada batu
yang ada di pinggir kolam tadi. Dalam posisi duduk, dengan kaki terendam di air
sampai hampir sebatas lutut, seperti itulah Willy ditemukan.
Tubuhnya, yang tidak terendam air
yang dingin, terkena panas matahari sehingga cepat mengalami pembusukan.
Aku tidak tahu apakah jenazah itu kemudian diotopsi di rumah sakit untuk
menentukan waktu dan penyebab kematiannya. Namun, aku perkirakan Willy
sudah meninggal pada suatu siang hari kurang lebih seminggu yang lalu. Jadi,
apa yang dikatakan oleh pak Handoyo pada hari Sabtu sebelumnya bahwa Willy
sudah tidak ada, mungkin sekali benar.
Setelah jenazah Willy selesai
dibungkus dan diikat, maka perjalanan berat untuk kembali ke Posko
dimulai. Terutama ketika kami semua harus mendaki tebing, kembali seperti
Tarzan, dengan membawa jenazah. Syukurlah, tebing itu bisa dilalui. Dari atas
tebing sini kami baru bisa mengabarkan ke Posko tentang hasil indentifikasiku.
Selama di lembah tadi, walkie talkie tidak dapat berfungsi. Akhirnya kami
semua tiba dengan selamat menjelang maghrib di Posko. Tentu saja kami
disambut dengan isak tangis dari teman-teman dan keluarga Willy yang sudah
menunggu disana. Malam itu juga jenazah Willy di bawa dengan ambulance ke
Jakarta.
Di saat teman-temanku sedang
bergulat mengerjakan ujian ilmu kimia, aku sendiri sedang berjalan gontai
dengan sedih dan gundah menuruni jalan setapak yang terjal dengan membawa
jenazah Willy ke Posko. Namun, kau masih menaruh harapan bahwa mBoen
masih hidup karena kita tidak menemukan tanda-tanda kematiannya.
Setelah pulang ke Jakarta, aku ikut
sibuk dengan urusan pemakaman Willy serta memberikan berbagai keterangan dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan dari keluarga dan kawan-kawannya.
Jenazah Willy dibawa ke RSCM lalu
disemayamkan di rumahnya di Jl. Cikini Raya, dekat pasar Cikini. Pada hari
Minggu 27 September 1970, enam belas hari setelah keberangkatannya sendiri
dalam keadaan hidup, Willy diberangkatkan untuk dimakamkan (kremasi?).
Aku sendiri tidak ingat lagi apakah aku ikut mengantarkan sampai ke tempat
pemakaman atau krematorium.
Jenazahnya sempat dibawa mampir ke
UI untuk mendapatkan penghormatan terakhir dari Civitas Academica UI. Waktu itu
perisitiwa ini dianggap cukup menghebohkan dan dramatis setelah peristiwa
meninggalnya Soe Hok Gie di Gunung Semeru – Jawa Timur. Kalau semuanya terjadi
sekarang, mungkin perhatian yang diberikan tidak akan sebesar itu karena
kecelakaan di gunung hampir terjadi setiap tahun. .
Sementara itu pencarian terhadap
mBoen masih terus dilakukan. Aku naik lagi ke Posko di Cisaat, namun aku
tidak ikut bersama tim pencari lainnya. Aku hanya berjaga di Posko sambil
berusaha menguatkan keluarga mBoen yang ada di sana.
Waktu itu sudah diputuskan bahwa
batas akhir operasi pencarian ini adalah hari Rabu, 30 September 1970.
Waktu operasi pencarian yang sudah mencapai dua minggu dianggap sudah
mencukupi. Apabila tidak juga diketemukan, maka mBoen akan dinyatakan hilang.
Apabila masih ada yang mau mencarinya, dipersilahkan, tapi tentu saja upaya
sendiri.
Nah, pada tanggal 30 September 1970
pagi hari, satu tim pencari yang sudah berkemah selama beberapa hari di kolam
air terjun yang ke lima sudah berkemas untuk melakukan pencarian hari terakhir.
Karena sudah demikian santernya kabar tentang adanya kekuatan mistik di wilayah
itu, maka si pemimpin tim mengajak seluruh anggotanya untuk berdoa dengan cara
masing-masing terlebih dahulu sebelum mereka berangkat dari situ.
Mereka kemudian berdiri berjejer
menghadap ke arah kolam dan si pemimpin berdiri membelakangi kolam. Di kala mereka berdoa itu, sesuatu muncul dari dalam
kolam. Hal mana dilihat oleh salah seorang anggota tim, sehingga mereka semua
menghentikan doanya. Namun, ketika semua menengok ke arah kolam, disana tidak
ditemukan apa-apa. Maka mereka melanjutkan doanya, ketika itulah sesosok tubuh
kembali mengambang di permukaan kolam.
Pemimpin tim memutuskan agar
sebagian anggotanya tetap berdoa dan salah seorang diutus untuk berenang ke
arah sosok tersebut dengan membawa tali. Setelah sosok tersebut berhasil
diraihnya, maka dia ditarik ke tepi beramai-ramai. Disitulah mereka menemukan
jenazah yang masih dalam keadaan utuh dengan sedikit luka di dahinya. Jenazah
itu dipastikan adalah mBoen karena mereka sekarang sudah dibekali ciri-cirinya,
a.l. bekas luka operasi usus buntu di perut kanannya.
Sungguh mengharukan dan menakjubkan
bahwa di hari terakhir pencarian jenazah mBoen bisa diketemukan, padahal selama
beberapa hari mereka sudah berkemah di tepi kolam itu dan mandi, minum dan
masak dengan menggunakan air dari kolam itu juga.
Kemungkinan besar mBoen merasa panik
dan bingung setelah menemukan Willy meninggal dunia. Maka setelah
mendudukkan Willy bersandar di batu dengan kaki-kakinya terendam di dalam kolam
air terjun yang ke-tiga, ia melanjutkan perjalanan menyusuri sungai kecil itu.
Rupanya ia masih berhasil melewati air terjun yang ke empat. Tapi naasnya tiba
di air terjun yang ke lima, dimana akhirnya dia jatuh, terbentur kepalanya, dan
mati sebelum tenggelam ke air yang dingin itu. Ada kemungkinan bahwa mayatnya
kemudian tersangkut di batu di dasar kolam dan di awetkan oleh air yang
dingin itu. Makanya mayatnya masih utuh dan tidak ditemukan banyak air di dalam
paru-parunya.
Belakangan diketahui bahwa sungai
yang mengalir ke arah Sukabumi tersebut memiliki tujuh air terjun. Willy hanya
berhasil melewati tiga dan mBoen berhasil melewati lima. Masih ada dua air
terjun lagi yang harus ditaklukkan sebelum mereka bisa mencapai kota Sukabumi.
Ironisnya, jalan setapak yang
ditunjukkan oleh peta itu memang ada. Namun, karena peta tua dan jalan
setapak itu tidak pernah lagi dilewati orang, maka sampai pada suatu titik
jalan tersebut ternyata sudah ditutupi dengan semak belukar. Padahal semak
belukar itu tebalnya hanya sekitar tiga meter saja. Kalau saja Willy dan mBoen
memutuskan untuk menerabas semak belukar itu, mereka akan menemukan kembali
sambungan jalan setapak yang ada di peta tersebut. Tapi, sepertinya mereka mengambil jalur lain, yaitu
mengikuti aliran sungai. Dan, begitulah takdir
mengarahkan mereka berdua untuk perlaya di gunung itu.
Berita penemuan jenazah mBoen itu
dikomunasikan ke Posko dan pagi hari itu juga tim evakuasi segera berangkat
menjemput. Aku tidak ikut bersama mereka lagi karena tidak lagi perlu melakukan
indentifikasi. Sore harinya jenazah mBoen tiba di Posko dan langsung dibawa
dengan ambulance ke RSTM.
Mungkin Tjie Swan betul, bahwa aku
ikut bersama dia sampai ke sana. Bagian ini aku sudah lupa walaupun sudah
berusaha mengingat-ngingatnya. Kalau tidak salah, jenazah mBoen juga
dsemayamkan sebentar di kampus Yarsi di Cempaka Putih. Hal mana pada saat
itu tentu cukup menghebohkan karena ada dua orang China mendapatkan
penghormatan sampai seperti itu karena rasa sentimen anti China masih kuat
sekali. Aku masih ingat bagaimana kita
berusaha menyamarkan penampilan kita agar tidak kelihatan terlalu China.
Dari sana mBoen dimakamkan di Tempat
Pemakaman Jati Petamburan. Yang aku masih ingat jelas adalah Noniek –
adik kesayangannya mBoen - menyender di pundakku sambil menangis ketika peti
jenazahnya dimasukkan ke liang kubur. Selesailah sudah.....!
Pada waktu pencarian Boen Houw
memang aku ikut tapi aku tidak bisa mengingat kembali orang2 yang ikut mecari
dia karena pikiranku pada waktu itu sangat kalut sekali, harus memikirkan papi
dan mami yang panic karena kehilangan anak lakinya yang tertua, juga oma ikut
panik.
Yang masih aku ingat adalah ada
orang yang mau nipu mami minta uang 15 Juta rupiah ( 36 thn yang lalu bisa
dibayangkan) ditanggung Boen Houw akan kembali hidup, untuk mami masih sadar
dan bertanya uang tersebut akan dibuang kemana ? Jawabnya dibuang kelaut ???
Sungguh tidak logis, Biasanya orang menggunakan kesempatan pada waktu keadaan
kritis. Untung pada waktu itu aku kuat dalam fisik dan mental menghadapi
semuanya.
36 tahun telah lalu, sekarang ini
aku baru tahu bahwa yang diajak berangkat ke gunung temannya yg 2 lagi adalah
kamu, aku dengar ceritanya sih katanya anak Yarsi.
Kalau kamu ga bikin cerita ini aku
tetep ga tahu siapa yang diajak ke puncak Pangrango, apa kamu pernah cerita
sama kita², aku lupa banget lho
Rasanya dulu ada yg simpan potongan
koran(knipsel) baik Kompas maupun Sinar Harapan selama 2 minggu peristiwa itu
dimuat terus tapi aku sampai sekarang ga ingat siapa? Terutama Sinar Harapan
karena Ariestides Katoppo juga ikut cari, kl ga salah dia dari arah basecamp
Sukabumi.
Yang kasihan adalah anak ORARI
Sukabumi yang harus naik sepeda ke basecamp(yg mana aku ga tahu) untuk menjawab
atau menyampaikan berita ?
Yang aku ingat lagi adalah pada
waktu mayatnya BH sudah ditemukan dan kamu naik mobil PDR (Patroli Djalan Raya)
jemput aku ke gunung, karena aku ga berani pulang ke Jakarta untuk memberitakan
berita buruk dilain pihak juga berita gembira karena mayatnya bisa ditemukan
karena sudah hampir dinyatakan HILANG kl 1 hari kemudian belum ketemu ke Pa dan
Ma dan keluarga yang lain.
Kamu ingat ga waktu mayatnya dibawa
pulang ke Jakarta malam² dan ada mobil yang mendahului mobil jenazah, langsung
slip didepan muter balik, wah sangat mengagetkan, sudah peristiwa sedih, hampir
ada kecelakaan lagi, tapi Tuhan beserta kita, semuanya berjalan lancar sampai
ke kamar mayat RS Cipto Mangunkusumo di Jl Salemba. Aku melihat mayat BH
dimandiin sembari sebelah2nya masih ada 6-8 mayat lagi yg bergeletakan, sedikit
serem tapi konsentrasiku adalah pada mayat BH dan harus mengidentifikasi, apa
betul dia atau tidak(berat lho krn kl samapi salah berarti fatal) begitu keluar
dari ruangan yg utk memandikan sudah ditanya sama mami apa betul itu mayatnya
adikmu, aku jawab dgn sedih : ya mami, terus mami tanya lagi apa kamu ga keliru
dan kamu pasti, aku jawab lagi : ya mami, krn ada bekasnya operasi usus buntu.
Jam 02.00 tengah malam tutup peti masih ada pastor yang mau dipanggil untuk
kita bersama sama berdoa
Tambahan informasi, petugas yang
memandikan mayat sebelum bungkusnya dibuka dia tanya apa mayatnya masih utuh?
Aku jawab: ya, memangnya kenapa pak, kmd bp bercerita bahwa mayat yg duluan
ditemukan mukanya dan badannya hancur dimakan belatung dan belatungnya gede²
lagi, aduh serem sekali deh.
Untung mayat PBH utuh, hanya menurut
ceritanya kepala bagian depan pecah (jidat) ada celahnya kira² 1 jari, jadi
menurut perkiraan dia jatuhnya jungkir kepalanya dulu.
Aku seperti blackout waktu ngurusin
BH dari cari di gunung sampai penguburan aku ga ingat lagi siapa² yang datang.
BH dulu masuk FK di Univ. Islam
Jakarta, temennya cewek² juga banyak,malah dia pernah cerita kalau teman
kuliahnya pernah celana dalamnya merosot segala.
Waktu di fakultas dia sempat jadi
pelatih basket ball, pokoknya favorit dia sih banyak.
BH sehari sebelum berangkat mendaki
gunung mampir di kostku di Muwardi Raya, tiba² datang didepan jendela waktu itu
aku sedang belajar untuk ujian pathologie dan dia ngomong: “Ci aku pamit mau mendaki gunung sama anak
UI, nanti lama lho ga ketemu” setelah dia hilang baru aku sadar akan
kata² BH pada waktu itu.
Tahun pertama aku ga krasan tinggal
di Jkt, dan dia selalu menghibur aku dgn naik DKW biru pergi jalan² atau keluar
makan di pasar grogol atau nonton bioskop.
Terima kasih semuanya karena kalian
mengenang PBH dgn kenangan yang bagus dan sangat mengesankan, aku sangat
terharu dan gembira setelah baca email² kalian.
Aku sampai sekarang kalau dengar
lagunya BEE GEES jadi mengenang PBH waktu masih hidup dan memang lagu favorit
dia,
Aku senang sekali bisa email²an sama
kalian, karena dunia jadi terbuka sepertinya, kita menggali peninggalan kuno
yang penuh dengan kesan.
Nama lamaku yg kalian kenal adalah
Poey Swan Hiang, karena nama ini sudah hampir 40 th tidak dipergunakan jadi
agak kagok, hanya papi dan mami dan saudara² yg masih panggil nama lama.
Setelah membaca tulisan Dian dan
juga Kaypang dan teman² lain, aku ingin sedikit
menambahkan beberapa hal. Sungguh luar biasa ingatan Kaypang ini, sampai
detail² tanggalnyapun bisa ingat semua. Kalo aku, sudah hands up deh.
Aku ingat, suatu pagi, masih tidur
di kost ku, dibangunin sama teman kita Tris Budiono yang kuliah di FT Mesin UI
: “HEGH, TANGI, KONCONE DEWE ILANG NING GUNUNG, MELU NGGOLEKI GIH” Saya ogah2an
njawab : “KONCONE DEWE SOPO?”
Dia bilang : “ARIEF”, kemudian saya
tanya lagi : “ARIEF SOPO?”, dia jawab : “MBOEN HAUW”, baru saya bangun
tenanan. Waktu itu saya masih
indekost di Jl. Dempo no 7 - Matraman. Belakangan pindah ke Salemba I/8 dan
kemudian kontrak rumah di Cimandiri no. 3 - Cikini.
Pagi itu saya sudah berada di Jl. Sadang
dirumah Boen Hauw bertemu dengan teman main radio yang juga tetangga sebelah
rumah, Phytagoras (belakangan callsignnya YBØGP) dan kakak iparnya Wawan.
Mereka menganjurkan untuk tanya “orang pinter”, yang mohon maaf, saat itu saya
“tidak percaya”, karena kefanatikan terhadap agama Katolik yang tertanam dihati
saya. Saya kemudian pulang kembali ke kost, dan ketemu tetangga sebelah
rumahku, Maman dan ceritakan semuanya. Dia ngajak untuk ke eyangnya di Sukabumi
yang dikenal sebagai “orang pinter” disana. Karena masih eyangnya Maman, maka
saya mau diajak kesana, dan dengan naik bus akhirnya malam jam 22.00 an kami
berdua tiba dirumah Aki Ipong, eyang Maman. Saya sudah kenal Aki sebelumnya,
karena Aki sering ke Dempo, dan saya sering main kerumah Maman. Aki
kemudian membekali kami dengan menyan untuk dibakar, dan kami disuruh ngikutin
arah kemana asap pergi, kesitulah jalan yang dilalui Boen Hauw, katanya.
Terus kami bermalam dirumah Aki dan
pagi² berikutnya kami berangkat ke Cisaat.
Di pos polisi Cisaat, kami bertemu
teman² Mapala (mahasiswa pecinta alam) yang bawa mobil dan nanya jalan
sama polisinya. Kami terus ikut mereka ke Posko pencarian dikaki gunung.
Anehnya, mobil terasa berat sekali, dan tiba² saja mobil oleng dan kejeblos ke selokan
dipinggir sawah. Kepercayaan anak², sopirnya “tidak bersih” pagi itu. Dengan
dibantu petani² setempat mobil bisa kami naikkan kembali, dan Maman minta dia
yang kemudikan sambil pasang ikat kepala bawaan dari Aki, dan akhirnya kami
sampai ketujuan dengan selamat, walaupun sepanjang perjalanan mobil berjalan
oleng kiri-kanan.
Maman kemudian membentuk group
sendiri dalam pencarian dengan menggunakan “bantuan” dari Aki Ipong, saya tidak
ikut mereka karena masih “tidak percaya” dengan cara² paranormal. Saya
bergabung dengan team Mapala yang lain, termasuk Herman Lantang yang saat itu
benar² membuat saya mengagumi kepribadiannya. Banyak hal² baru yang saya
pelajari dari beliau.
Karena saat itu menjelang waktu
ujian akhir perkuliahan, maka saya beberapa kali pulang ke
Saat² pulang
Waktu di Oom Handoyo, pertama kali
kami tanya nama Boen Hauw, beliau lalu membakar rokok 555 dan mengoleskan
apinya ketelapak tangannya dan dia bisa melihat sesuatu ditelapak tangannya
yang mana kami tidak bisa melihatnya.
Pertama beliau melihat orang lain,
bukan Boen Hauw kita, kemudian beliau tanya siapa nama bapaknya, saya jawab
Poey Hwie Tiong, dia ulangi hal yang sama sambil kadang² menggoyangkan telapak
tangannya yang ada cincinnya gede dekat telinganya, kelihatannya itu handphone
dia, karena dia mendengar sesuatu, dan kemudian dia menggambarkan ciri² yang
persis Boen Hauw kita, baru kita bilang iya. Beliau bilang, anaknya seneng
nyanyi yah, nha ini baru cocok. Setelah mendapat “bekal” secukupnya dari Oom
Handoyo, kita harus berlomba dengan waktu, karena Oom Handoyo bilang Boen Hauw
masih hidup tapi sudah lemah sekali. Cilakanya hari sudah malam dan kesulitan
kendaraan, eeeeh nasib baik kami dapat tumpangan mobil patroli polisi Volvo
putih yang sudah diceritakan Kaypang. Akhirnya kami sampai ke Posko di Cisaat
lagi dan saya bergabung dengan rombongan PGT, karena mereka tidak mau ikut
Mapala yang dikomandoi Herman Lantang. Kata mereka : Herman itu bukan manusia,
mereka yang dilatih dihutan aja tidak bisa ngikutin Herman. Jarak yang harus
ditempuh mereka sekitar hampir 2 jam, bisa ditempuh Herman kira² ½ jam lebih,
kurang dari 1 jam. Ternyata Herman tidak pernah jalan, tapi lari !!!
Luar biasa !!
Satu hal yang saya ingat dari Herman
Lantang ini, ialah : pada suatu malam, hujan, ditenda (saya lupa dipos mana,
mungkin di Cisaat), saya didalam, dia datang dengan telapak tangan kanan
dibebat. Saya tanya kenapa Man, dia bilang rasanya ada duri yang masuk dalam
tanganku, tolong dikeluarin deh.
Saya kemudian ambil PPPK Box. (Saya pernah dididik PPPK di RS. Elisabeth -
Cuman minta plester aja untuk nutup lubangnya. Ini satu hal yang saya kagumi dari Herman Lantang, pengetahuan obat2an dari
daun² alamiah.
Saya mencoba menyambung hal² yang
masih dalam ingatan saya, tentu tidak bisa berurutan seperti KP karena saya
hanya menulis apa yang saya ingat, sedangkan tanggal kejadiannya udah tidak
ketemu dalam memory saya.
Berawal dari peta militer yang
didapat Boen Hauw entah dari mana, karena sebenarnya peta ini sifatnya rahasia,
(demikian yang aku dengan dari rekan² PGT yang ikut mencari digunung), maka
Boen Hauw dengan Willy kemudian menyuruh teman²nya (5 orang pemula, yang baru
pertama kali naik gunung, dan selamat semua), untuk menuruni jalan sesuai
petunjuknya, dan mereka (BH dan W) akan mencoba membuka jalur baru sesuai peta
yang didapat menuju Sukabumi. Dari merekalah diketahui bahwa BH dan W hilang.
Dari 5 orang tsb hanya 2 yang ketemu saya, yang ikutan naik lagi untuk mencari
seniornya, yang 3 lainnya dengar² digrounded sama orang tua mereka.
Peta ini dibuat oleh kesatuan
militer yang ditugaskan untuk memburu sisa² laskar DI/TII yang melarikan diri
dan bersembunyi dihutan. Mereka membuat semacam perkampungan sendiri, dan
sangat menguasai medan setempat, sehingga tiap ada operasi, kebanyakan mereka
selamat dengan bersembunyi.
Entah idea apa yang muncul sehingga
BH dan W berniat mencoba melalui jalur ini, sebab menurut juru kunci gunung
yang sempat saya temui, sebelumnya, sewaktu BH & rombongan minta ijin
mendaki, beliau sudah memperingatkan BH dan W untuk membatalkan niat mereka
ini, karena sudah sering ditemukan jenasah didaerah itu yang tidak diketahui
sebab kematiannya. Menurut beliau ini, mereka dibunuh oleh sisa² kelompok yang
bersembunyi tadi supaya tidak ketahuan persembunyian mereka. Mungkin saja
dengan ramainya orang² mencari, mereka justru bergabung dengan rombongan
pencari ?? Ngga tau deh. Well ini adalah salah satu hal yang pernah saya
tuliskan sebelumnya, kisah ini membawa banyak mystery yang tidak terungkapkan,
dan saya rasa biarlah demikian adanya, karena toh BH sudah bebas dan senang
sekarang, terbukti dari bisanya kita semua kumpul dalam waktu singkat seperti
ini. Pasti ini kehendak BH. Hanya saja selalu akan menjadi mystery buat saya.
Kalau saya gatuk²ke semua cerita juru
kunci ini, ya ada “mungkin” benarnya. Kenapa ?
Kita lihat aja, sewaktu jenasahnya
diketemukan, pertama yang saya coba lihat adalah bekas operasi usus buntunya,
dan memang ada. Rupanya kenakalan BH dengan sok pamer bekas operasinya ini
diketahui banyak orang yah, sehingga semua mencari bekas operasi ini duluan
sebagai tetenger/tanda² BH.
Wajahnya memang berubah, agak
bengkak. Menurut tenaga medis (rasanya belum dokter) yang memeriksa, kayaknya
tercekik, dan tidak banyak air dalam perut maupun paru2nya. Ini dibuktikan
dengan meng-guncang² tubuhnya, tidak ada suara kemruyuk dalam perutnya. Berarti
BH sudah meninggal sebelum jatuh atau dijatuhkan keair. Ini versi mereka, dan
hanya bisa dibuktikan kalau diautopsi dan dilihat dalam tubuh BH. Mereka
menyatakan BH meninggal 30 September 1970, sehari sebelum ditemukan jenasahnya.
Pada saat ditemukan, celananya agak
mlotrok, sepertinya orang akan buang air besar, dan sepertinya kita beranggapan
demikian atau dibuat menganggap demikian, karena ransel dan peralatan² BH
ditemukan terlepas dari badannya, jadi se-olah² memang dilepasnya supaya agak
bebas kalau mau buang air besar.
Luka dikening kanannya cukup besar,
dan rata² kita menganggap itu luka kebentur waktu jatuh, tapi tidak demikian
dengan paramedic dan rekan² PGT serta Mapala lainnya. Kalau itu luka terbentur,
tentu akan memar disekitarnya dan bentuknya tidak lurus seperti itu. Padahal
tidak ada bekas memar disekitarnya.
Kemudian bekas goresan dilehernya,
banyak yang beranggapan itu tergesek ranselnya. Tapi pendapat lain
mengatakan tidak, karena kalau kena ransel, pasti bekas goresan itu
dipundak adanya, sedang ini dileher yang cukup jauh dari pundak kalau kena
ransel. Dugaan teman² ini, itu sepertinya bekas cekikan tali, dan memang kalau
dilihat besarnya, sebesar tali yang biasa digunakan, tapi tali² mereka sudah
tidak ada semua. Mungkin karena menyadari kalau tersesat lalu tali² itu dibuang
atau sudah digunakan untuk menuruni tebing ditempat lain, saya tidak tahu.
Apakah luka ini didapat sewaktu menuruni tebing dengan tali, saya juga tidak
bisa memastikan. Yang jelas jenasah BH sudah cukup lama terendam air, paling
tidak satu hari, karena bekas luka² semuanya sudah medok/mekar, dan sewaktu
jenasah akan dimandikan di RSCM, kulit kakinya semua nglokop/terkelupas melekat
disepatunya. Pada saat membuka sepatu ini saya bersama Kusno Andarussalam
(sekarang YB2DN), sahabat BH dan juga John yang sekarang sudah pensiun dan
tinggal di Banyumanik – Semarang. Mungkin
juga masih ada teman lain, tapi saya ngga ingat.
Pada saat evakuasi jenasah BH,
terasa berat sekali, padahal tidak ada air diperutnya. Tiap 6 – 10 meter jalan,
mesti gantian memikulnya, makanya sampai lama sekali baru tiba di Posko Cisaat.
Pemikulnya kehabisan tenaga, karena selain
Pada saat iring²an ambulance
membawa jenasah ke
Pada saat pemakaman BH, saya
lihat banyak sekali rekan²nya dari YARSI yang ikut, mereka (mayoritas wanita)
pada menangis, dan fotonya BH sempat jadi rebutan beberapa temannya. Saya rasa
kalau dibilang saat itu rada rawan perbedaan etnis, hal itu tidak terasa pada
diri orang² pecinta alam, kami merasa semuanya satu, dan saya menyaksikan bahwa
mereka saling menghormati kepercayaan orang lain.
Apalagi terhadap BH yang begitu
supel dan bisa menempatkan diri dilingkungannya, saya tidak merasakan hal itu
dipemakaman. Mungkin saja hal itu dipolitisir oleh segelintir orang yang ingin
popular dengan me-manasl²kan suasana, saya ngga paham. Yang jelas, kami di
MAPALA maupun ORARI sama sekali tidak mengenal hal itu.
Pada waktu pencaharian BH, waktu
aku sedang di Jakarta, nginep dirumah BH di Jl. Sadang, pas malam Jumat Kliwon.
Aku tidur berdua dengan
Phytagoras - YBØGP, tetangga sebelah rumahnya BH. Menjelang tengah malam, aku
terbangun, karena mendengar kayak ada orang merintih atau menyanyi gitu. Dan
jelas aku melihat BH dengan tangan kelihatan sedang seperti berdoa rosario,
tapi kok ngga ada rosarionya. Tiba² aku tersadar dari halusinasiku karena aku
dipukul oleh Phyta dengan keras sambil ber-teriak² histeris dan tampang
ketakutan banget, mendelik² ngliatin aku aja. Aku mencoba menenangkan dia, tapi
semakin aku dekatin dia semakin ketakutan dianya dan teriak² tapi ndak jelas
omongannya. Akhirnya aku bentak dia, suruh dia nyebut, (istilah doa dalam
islam), baru setelah dia nyebut dan sadar, dia nangis sambil pelukin orang yang
habis dipukulinya. Teriakannya membangunkan seisi rumah, aku lupa siapa aja,
mungkin ada Dian, Noniek yang pasti adalah cik Threes, tantenya BH yang ngga
mau aku panggil tante.
Mereka pada nanya², dan akhirnya
aku ceritakan apa yang aku lihat. Baru aku tahu dari Noniek atau Dian, bahwa
memang
Saya masih kehilangan kontak dengan Phytagoras, dia pasti ingat kejadian malam
itu.
Saya pernah kerumah di Seroja
sewaktu liburan Natal setelah kejadian ini bersama Phytagoras yang sejak
kejadian itu sampai beberapa waktu lamanya selalu takut untuk tidur sendirian,
begitu juga saya sendiri, sampai tidak tidur di kost tapi bersama Phyta
dirumahnya terus. Tapi setiap akan tidur, kejadian Jumat Kliwon selalu kami
jadikan bahan guyon², supaya saya tidak dipukuli lagi kalo dia ngelindur.
Mami Hwie Tiong begitu histeris
melihat saya, nangis dan me-mukul²i badan saya karena teringat BH, sehingga
saya sampe ketakutan sendiri, dan tidak pernah nongol lagi kesana setelah itu.
Saya jadi inget, sempat ditunjukin foto² sama Nonik kalau ndak salah, saya
lihat ada juga foto²ku sewaktu pemakaman BH.
Wah,ceritanya Kaypang betul² komplit
! Termasuk yg menceritakan ttg aku .
Karangan ini , akan kutunjukkan pada
anakku.
Kenangan ttg Mboen , yg sampai detik
ini masih aku ingat : Dalam ngobrol , untuk menunjukkan kegembiraan hatinya dia
selalu ngomong :......LINCAH & JENAKA.......
Aku lupa , apakah ini khusus UNTUK
Kaypang saja ?? Sebab, sampai detik ini , Kaypang ya masih lincah & jenaka
!!
Dari pribadi Mboen , saat ini masih
tergambar jelas wajah & gerak gerik nya saat ke indekosku sebagai :...penuh
spirit ...bicaranya cepat & volume nya kuat.... gerakannya tegas(nggak
nglemer) , kalau bicara...face nya berseri seri ..dan cepat bersahabat walaupun
masih ketemu beberapa kali..., seingatku dia ya nawari aku meng iming²i
...bagaimana enaknya kalau naik gunung... tapi walaupun menarik, wong aku ini
nggak suka badan capai ,ya nggak mau ikut²an.
Kalau datang ke kos , dia pakai
jaket jeans biru yg sudah kumal..
Dari gerak gerik dia , aku merasa
dia sebagai orang yg tulus... Sayang dia nggak bisa menjadi dokter.
Aku percaya bila dia jadi dokter,
pasti akan jadi dokter yg jujur & care pada pasien , sebab dia mempunyai
pribadi yg terbuka,nggak pakai kembangan² & jaim,pasti dia akan punya
nama baik , tidak seperti kondisi saat ini yg menurut pendapatku,hampir mungkin
lebih 90 % dokter, mentalnya brengsek, cuman jadi kacungnya perusahaan² obat
& RS !!Kalau perlu mencelakakan pasien asal dapat fulus.Kalau ada konco² yg
kerja/punya perusahaan obat pasti setuju dengan pendapatku ini.
Kenangan ttg Mboen ini, entah
kenapa, sampai detik ini masih terbayang jelas dalam pikiranku ,saat² dia ke
kos & ngobrol² rasanya aku masih dengar kata²nya, mungkin secara nggak
kusadari pribadi si Mboen ini termasuk salah satu inspirasi dalam
pembentukan pribadiku.
Sebagai respect pada dia, entah
bagaimana sampai detik ini aku masih masuk dalam 10 % dokter yg bertahan
terhadap polusi mental.
Aku harap keterangan ini bisa
melengkapi kenangan pada si Mboen sebagai pribadi yg bisa menjadi contoh
walaupun hidupnya sangat singkat.
Terima kasih atas cerita tentang koh
Boen, jadi aku (Endang - Bwee Hiang) bisa tahu ceritanya dengan lebih
lengkap karena waktu kejadian pencarian koh Boen aku lebih banyak tinggal
dirumah Jl. Sadang.
Ada beberapa cerita yang lucu-lucu
dan berbau misterius pada masa pencarian koh Boen;
Ada yang memberitahu dari orang
pintar Semarang bahwa :
Kalau ketemu Kidang tidak boleh
ditembak atau dibunuh sebab itu adalah jelmaannya koh Boen.
Jadi kita² yang mendengar juga
merasa aneh tapi demi untuk keselamatan koh Boen jadi ada beberapa orang
yang diberitahu juga. Ternyata setelah selesai pencarian itu, twa-ie Bandung
bilang bahwa kita salah menafsirkan kata Kidang yang diartikan sebagai binatang
kijang, yang katanya dalam bahasa cina artinya tempat kenangan.
Mami yang pada waktu itu belum
menjadi orang kristen, setiap malam berdoa dengan membawa hio di halaman depan
kamarnya koh Boen dengan yakin bahwa koh Boen masih hidup, tapi pada suatu
malam setelah selesai berdoa mami tiba² bilang bahwa Boen Hauw sudah
meninggal sebab tadi waktu mami berdoa mami melihat seperti ada kilatan
sinar putih yang terbang ke langit.
Memang betul seperti yang
diceritakan oleh Dian bahwa waktu membawa jenazah koh Boen dari gunung ke
Jakarta ada mobil yang mau nyalip mobil yang membawa jenazah, tapi tiba² mobil
itu selip dan berbalik arah, tapi untung tidak ada yang celaka.
Aku kalau mendengar lagunya Koes
Plus yang ada kata²nya ”Ke
Jakarta aku kan kembali, walau apapun yang terjadi” aku
jadi teringat koh Boen sebab kalau lagi ke Bandung dia sering nyanyi lagu itu.
Dan memang apapun yang terjadi dia kembali nya ke Jakarta.
Ranselnya koh Boen yang dulu dibawa
kegunung terakhir kali ada di simpan di markasnya anak² Wanadri regu pencinta
alam dari Bandung (semoga sampai sekarang masih disimpan sebab lokasi markasnya
yang dulu sekarang sudah menjadi sebuah mesjid).
Menurut cerita anak wanadri orang
yang diikat untuk mengambil jenazah koh Boen di Danau adalah kang Iwan
Ompong (Iwan Abdulrahman - ketua Wanadri saat itu)
Kalau tidak salah koh Boen ditemukan
bukan tanggal 30 September tapi sehari atau 2 hari sebelumnya sebab seingat aku
dia kuburnya tanggal 30 September, sebab aku ingat pernah ngobrol dengan
seseorang(aku lupa) bahwa memang koh Boen itu rruuaaar biasa, waktu lahir 17
Agustus orang pasang bendera satu tiang dan waktu menginggal dan dikubur orang
pasang bendera setengah tiang (meskipun hanya kebetulan saja).
Sampai disini dulu aja semoga
tambahan ini bermanfaat.
Salam dari
Endang Bandung
Ada sesuatu yang istimewa pada 4x9
tahun perginya teman-baik kita, saudara Poey Boen Hauw (Arief Kusnanto), ada
suatu peringatan yang unik, unik berarti tidak ada dua-nya, karena itu saya
tidak bisa bilang "unik sekali", karena unik itu hanyalah ada satu
saja, yaitu ini.
Telah terjadi semacam "avalanche effect" (perkataan Belanda:
"lawine-effect", èfèk salju-terjun):
• Theo van Beusekom (mantan dosen
Universitas Kristen Satya Wacana (Salatiga) - Fakultas Tehnik Elektro)
menceritakan pengalamannya naik Gunung Merbabu bersama isterinya (Helen)
disertai beberapa foto (di mailing list FTE);
• So Hing Tjhwan (John)
merasa tergugah untuk juga menceritakan pengalamannya naik Gunung Merbabu di tahun
1970, bersama Poey Boen Hauw dan rekan2 yang lain, juga disertai sejumlah foto2
kenangan di Gunung Merbabu (di mailing list FTE);
• Kho Han Tjioe (August Handoko
Reksosamoedro) telah meneruskan e-mail Hing Tjhwan tentang pendakian Gunung
Merbabu itu kepada mailing list Loyola-69 beserta koreksinya tentang nama
gunung, Pangrango bukan Burangrang;
• Saya (Yeu Bing Djien)
menulis koreksi bahwa Boen Hauw kecelakaannya di Gunung Pangrango, bukan Gunung
Burangrang, antara lain dalam e-mail langsung kepada Tjeng Som Liem (Edhi
Siswoyo), Lie Bwan Tong (Santoso Utomo) dan Liem Swan Bie (Arianto
Kusumadjaja);
• Som Liem menyampaikan hal
ini kepada Hing Tjhwan (di mailing list FTE), Hing Tjhwan membenarkan;
• Kemudian ada reaksi dari
antara lain (di mailing list Loyola-69): Liem Swan Bie (Arianto Kusumadjaja),
P.M. Sulistijo, Liem Chu Hwie (Widyo Slamet Budiman), Liem Bing Tjoan (Freddy
H. Susanto), Liem Tjwan Hauw, Tan Hak Liam (Yos Effendi Susanto), Kho Han Tjioe
(August Handoko Reksosamoedro);
• 17.09.2006 lahirlah Website http://semarangan.net/BoenHauw;
• Bing Tjoan membuat kontak
dengan Noniek Poey dan Hedwig Tan;
• Noniek Poey kontak dengan
Dian Poerwito (Ciek Swan Hiang);
• Reuni di Kafe Victoria,
Pondok Indah Mall-2, Jakarta, 7 Oktober 2006 siang, atas prakarsa P.M.
Sulistijo yang dulu duduk di sebelah Boen Hauw sewaktu duduk di kelas 3D 1969
Kollege Loyola;
• Reuni kecil di Restaurant
Paradijs, Vredenburg 28, Utrecht, 7 Oktober 2006 malam, disambung ke-ésok-an
harinya di De Bilt, tempat Dian Poerwito (Ciek Swan Hiang);
• The Kok Tjhiang (Kay Pang -
Tony Juwono Kristianto) menulis ceritanya yang hebat sekali tentang pencarian
dan penemuan Boen Hauw yang tidak bisa dilupakan lagi;
• Cerita Kay Pang ini segera
"in no time" disusul dengan/oléh cerita2 pelengkap dari Go Hong Sing,
Dian Poerwito (Poey Swan Hiang), Liem Bing Tjoan (Freddy H. Susanto) dan Endang
Hanapi (Poey Bwee Hiang);