In Memoriam Poey Boen Hauw alias Arief Kusnanto • Image 19 of 24

In Memoriam Poey Boen Hauw alias Arief KusnantoMerbabu

Previous | Archive | Next
Tiga Serangkai dipuncak Merbabu : Thursday : 20. August 1970 « previous next »

Tiga Serangkai dipuncak Merbabu

Thursday : 20. August 1970



Filed under: Merbabu
Caption: Berfoto bertiga, Arif YC2BX (kiri), saya (tengah), dan John Satyaputra YB2AM (kanan), di salah satu lereng bukit di dekat puncak Gunung Merapi
Headline: Mendaki Gunung Merbabu
Object Name: Tiga Serangkai
Date Created: Monday, August 20th, 1979
Country: Indonesia
Copyright: Dony (c)

1 Comment “Tiga Serangkai dipuncak Merbabu”

Dony
Friday : 25. February 2011 18:38

Ini adalah kenangan perjalanan saya (waktu itu call sign saya YD2GG), John Satyaputra (YB2AM), dan Arif (YC2BX) ke puncak Gunung Merbabu. Ini merupakan pertemuan saya yang terakhir dengan sahabat saya Arif. Karena setelah itu, ia meninggal dalam perjalanan mendaki Gunung Pangrango (Gunung Puteri), yang rencananya akan dilakukan melalui Puncak, dan terus tembus ke Sukabumi....

Foto-foto ini, berasal dari tahun 1970, dikumpulkan dari koleksi sahabat saya John Satyaputra (YB2AM) dan beberapa foto dari koleksi saya, setelah kita tidak bertemu selama lebih dari 40 tahun. Perjalanan ini, merupakan kenang-kenangan indah yang terakhir bersama sahabat saya Arif (YC2BX). Kita bertiga dulu tinggal di Kota Semarang, dan kita bertiga merupakan anggauta ORARI lokal Semarang. Saya waktu itu, masih duduk di kelas dua SMA Negeri 1 Semarang.

Perjalanan ke puncak Gunung Merbabu ini, dilakukan beramai-ramai, bersama dengan sejumlah pendaki gunung dan anggauta ORARI yang tinggal di Kota Salatiga. Sebelumnya, kita berkumpul dan mempersiapkan diri serta bekal secukupnya, di rumah Mas Sutarno YC2AV yang juga seorang anggauta ORARI yang tinggal di sisi selatan Kota Salatiga, lokasinya sedikit di sebelah selatan Desa Karang-Gendhong. Saya semasa SMP, antara tahun 1965 sampai tahun 1968, tinggal di Kota Salatiga, di sebuah kompleks perumahan pegawai Perhutani, Brigade Planologi, yang kantornya berada di Kota Salatiga (di belakang markas militer Korem Salatiga). Kompleks perumahan pegawai ini, lokasinya berada di Desa Karang-Gendhong, tepatnya di jalan raya yang menanjak di sisi selatan Kota Salatiga. Kompleks ini, letaknya di sisi timur jalan raya Semarang - Solo, tepat di depan sebuah tangsi militer yang sangat luas, yang di kalangan penduduk Kota Salatiga dikenal dengan sebutan 'Tangsi Bambu'.

Saya masih ingat betul, perjalanan dimulai siang hari, sekitar jam dua siang dari Kota Salatiga. Kita beramai-ramai memakai kendaraan (mobil) menuju Kopeng, yang letaknya sekitar 15 kilometer di sebelah barat Kota Salatiga. Dari Kopeng itulah pendakian ke puncak Gunung Merbabu dimulai, pada sekitar jam 15.00 wib sore. Sejak dari Kopeng, perjalanan sudah melewati jalan setapak yang sangat menanjak dan terjal. Sepanjang perjalanan melewati jalan setapak ini, kita terpaksa beristirahat beberapa kali, karena kehabisan nafas dan tenaga. Beban di dalam ransel yang sebenarnya tidak terlampau berat, semakin lama rasanya menjadi semakin bertambah berat saja.

Sampai di atas Lembah Edelweiss tepat menjelang tengah malam. Bulan purnama sangat indah bersinar, tetapi perjalanan menjadi sangat berbahaya, karena di sisi kiri, sejajar dengan jalan setapak yang kita lalui, terdapat jurang terjal yang tegak lurus dan dalamnya pada beberapa tempat mencapai lebih dari 100 meter. Waktu itu, kita hanya berpatokan harus mencapai sebuah pohon besar yang meranggas (kering) kehitaman tak berdaun, jauh di atas jurang. Bayangan pohon ini, sangat jelas terlihat dari kejauhan, disinari bulan yang sedang purnama. Sementara, jalan setapak yang hendak dilalui, sepanjang mata memandang dipenuhi tumbuhan perdu yang sangat rapat setinggi pinggang. Jalan setapak itu, sebenarnya tidak terlampau jelas benar keberadaannya. Saya masih ingat, beberapa kali kita berdebat sengit, jalan setapak yang menuju puncak itu sebenarnya yang mana. Beberapa kali, kita agak tersesat dan tidak bisa menemukan jalan setapak yang kita maksud. Hal yang juga saya ingat benar, adalah kita pada waktu itu bersepakat, bahwa sama sekali tidak boleh berjalan membelok ke arah kiri. Karena, jika itu dilakukan, maka artinya kita sama dengan berjalan menuju pinggir jurang yang sangat terjal. Sementara itu, batas pinggir jurang terjal itu, sama sekali tidak terlihat. Sejauh mata memandang, tanaman perdu setinggi pinggang itulah yang terlihat, di malam itu terlihat berwarna kehitaman. Wilayah bertanaman perdu itu, sangat luas. Sama sekali tidak ada suara binatang apapun. Di sekitar kita, hanya terdengar desau tiupan angin malam yang sangat dingin saat menerpa pucuk-pucuk daun tanaman perdu.

Seingat saya, yang oleh kawan-kawan disebut jalan setapak, sebenarnya adalah alur bekas aliran air hujan dari arah atas bukit, yang membuat permukaan tanah menjadi sedikit terbuka dan tidak ditumbuhi tanaman perdu. Sedangkan batas antara daerah aman (tempat kita berjalan pada jalan setapak) dan jurang yang sangat terjal di sisi kiri jalan setapak itu, sangat tidak jelas, meskipun saat itu sedang bulan purnama. Karenanya, kita lalu memutuskan untuk tidur malam itu di antara tanaman perdu yang rapat dan setinggi pinggang, menunggu pagi hari berikutnya.

Pada pagi harinya, kita menyempatkan diri melihat dasar jurang dari puncak bukit, ternyata lembah jurang itu sepanjang beberapa kilometer ke arah puncak Merbabu, dipenuhi bunga Edelweiss yang saat itu sedang berbunga. Jadi seluruh lembah di jurang itu, berwarna putih diterpa sinar matahari pagi, karena penuh dengan bunga Edelweiss yang sedang mekar. Ini merupakan pemandangan surgawi yang tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidup, karena sangat indah dan mempesona....

Sepulang dari puncak Gunung Merbabu, ternyata jalan menurun juga tetap merupakan siksaan. Ujung jari dan telapak kedua kaki yang menahan berat badan dan beban di dalam ransel, rasanya sakit sekali. Saya ingat betul, rasanya kaki saya sangat pegal dan letih sekali. Sewaktu bubaran, John dan Arif kembali lebih dulu ke Kota Semarang. Sementara saya, mampir dan tidur di asrama pegawai Perhutani yang ada di kompleks perumahan. Saat itu, semalaman saya nggak bisa tidur, karena kaki saya beberapa kali 'kraam', rasanya sakit sekali. Untunglah 'simbok' yang menjadi pengurus dan juru masak asrama, berbaik hati membuatkan saya 'parem', yang dibuat dari nasi yang masih panas (habis ditanak). Nasi panas ini, di-'bobok'-kan dan diratakan ke seluruh paha kaki saya. Waktu itu, saya sama sekali tidak bisa lagi merasakan panasnya suhu nasi yang baru dikeluarkan dari 'dandang' tempat menanak nasi. Memakai kedua tangannya, nasi panas itu diremas-remas, sehingga menjadi seperti bubur kasar, lalu ditempelkan merata di seluruh permukaan paha bawah saya, sampai ke ujung kaki. Saat itu, saya hanya terduduk saja di atas kursi, tanpa bisa berbuat apa-apa. Kaki saya rasanya benar-benar seperti lumpuh dan sama sekali tidak bisa digerakkan. Jika sedikit saja kaki digerakkan, rasanya benar-benar sakit sekali. Malam itu, saya dengan susah payah akhir bisa juga tertidur, setelah lewat tengah malam.

Ajaib sekali! Saat saya terbangun di pagi hari berikutnya, rasa sakit di kaki saya terasa sangat jauh berkurang dan bahkan saya ternyata bisa menggerakkan kaki dan berjalan tanpa merasa kesakitan sama sekali. Rasanya, 'simbok' merupakan orang yang paling berjasa menolong saya saat itu. Setelah itu, saya masih tinggal selama beberapa hari di Kota Salatiga, sebelum akhirnya pulang ke Kota Semarang.....









   Remember me
Hilang   Schoolmates   RIP   Return to Main Menu